"Ini benar-benar mengungkapkan buta huruf (Taliban) dan pengetahuan yang buruk tentang Islam dan hak asasi manusia. Jika situasinya terus seperti ini, masa depan akan lebih buruk. Semua orang takut," tuturnya mengungkapkan.
Di kota timur Jalalabad, beberapa siswa laki-laki keluar dari ujian sebagai protes terhadap keputusan tersebut.
Sekembalinya mereka ke tampuk kekuasaan, Taliban berjanji untuk menjadi lebih fleksibel. Tetapi, mereka dengan cepat menegakkan kembali interpretasi Islam yang keras yang menandai masa pertama mereka berkuasa antara tahun 1996 hingga 2001.
Pembatasan terhadap perempuan berlipat ganda dalam beberapa bulan terakhir. Mereka dilarang dari sebagian besar pekerjaan pemerintah atau dibayar sedikit untuk tinggal di rumah, tidak diizinkan bepergian sendirian ke luar kota, dan tidak boleh masuk ke taman dan kebun.
Baca Juga: Taliban Makin Pinggirkan Perempuan Afghanistan, Kini Dilarang untuk Mengunjungi Semua Taman di Kabul
"Kami tidak punya kekuatan untuk melakukan apa pun dan tidak ada yang mendengarkan kami," kata seorang pria berusia 29 tahun, yang mengambil gelar master dalam sastra Pashto di Kabul.
"Kami tidak bisa memprotes, kami putus asa. Dalam setiap aspek kehidupan, kami menjadi kutukan," katanya seperti dikutip France24.
"Kami tidak punya pekerjaan, kami tidak bisa pergi ke mana pun, dan kami tidak bisa meninggalkan negara ini. Kami kehilangan segalanya."
Jauh di dalam kesedihan, dia masih berpegang teguh pada harapan bahwa Taliban – yang aturan pembatasan terhadap perempuannya semakin parah – akan membatalkan pengumuman setelah liburan musim dingin.
"Kami akan menunggu tiga bulan ke depan untuk melihat apakah mereka mengubah perintah mereka. Mereka mungkin mengubah kebijakan dan memulai kembali universitas."
Jika tidak, dia meminta pria untuk berhenti menghadiri kelas sebagai protes, "Mereka juga harus tinggal di rumah sampai gadis-gadis itu diizinkan kembali," pintanya.
Sumber : Kompas TV/France24
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.