KUALA LUMPUR, KOMPAS.TV - Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampikan pidato dalam kuliah umum di Universitas Kebangsaan Malaysia, Selasa (16/8/2022).
Dengan tema "A Better World is Possible," eks Ketua Umum Partai Demokrat itu menyampaikan seluruh pidatonya dalam Bahasa Inggris.
Berikut pidato lengkap SBY yang sudah diterjemahkan oleh KOMPAS TV.
A Better World is Possible
Bismillahirrohmanirrohim,
Assalamualaikum wr.wb
Saya merasa terhormat dan senang berada di sini, di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Saya bersyukur atas kesempatan luar biasa ini, untuk berbicara dengan pihak fakultas dan mahasiswa universitas besar ini.
Sebenarnya, bulan lalu saya telah menerima wakil rektor UKM Profesor Ekhwan, di kediaman saya di Cikeas. Mereka menyampaikan undangan dari rektor UKM, dengan segera dan senang hati saya menerima undangan itu
Saya berterima kasih, saya tahu bahwa UKM secara luas dikenal sebagai salah satu universitas terkemuka di Malaysia dan Asia Tenggara.
Di sini Anda telah membangun sebuah institusi yang didorong semangat pencarian luar biasa demi keunggulan dan pelayanan terhadap ilmu pengetahuan.
Lulusan dari kampus ini telah menjadi agen kemajuan bagi Malaysia, juga membantu negara Anda dan dunia menjadi tempat yang lebih baik.
Saya menyadari, banyak orang Indonesia yang mulai belajar di sini. Saya ingin berterima kasih kepada fakultas dan mahasiswa UKM, karena sudah membuat mereka merasa diterima di sini.
Tuan dan nyonya,
Omong-omong, saya tidak datang sendiri, saya membawa beberapa rekan dari Indonesia, mantan menteri saya, Dr. Hatta Rajasa, Djoko Suyanto, Prof Purnomo Yusgiantoro, Dr. Andi Malarangeng dan Dr. Dino Patti Djalal.
Saya juga membawa tim voli, ya, Anda tak salah dengar, tim bola voli.
Saya mencintai olahraga bola voli sepanjang hidup saya. Saya adalah anggota klub voli di sekolah menengah saya, kemudian saya juga bergabung dengan tim voli akademi militer Indonesia.
Ketika saya menjadi presiden, salah satu kegiatan rekreasi favorit saya adalah bermain bola voli dengan security saya, tentu saja saat mereka sedang tidak bertugas.
Pada awalnya agak frustasi, karena entah bagaimana mereka akan selalu membiarkan saya menang. Mereka mengalah biar saya senang.
Namun, beberapa saat kemudian, olahraga voli yang saya tekuni menjadi lebih kompetitif sejak Desember 2019.
Setelah meninggalnya istri tercinta saya, Ani Yudhoyono, saya membangun sebuah tim bola voli. Tim ini disebut Lavani atau Love Ani, dinamai dari nama depan istri saya.
Ini adalah tim yang serius dengan atlet yang berdedikasi, dan saya senang mengatakan bahwa Lavani membuat sejarah, memenangkan liga profesional (Proliga) Indonesia 2022 pada debut atau musim pertamanya.
Tim Lavani akan memainkan pertandingan persahabatan di sini, di Malaysia. Saya berjanji kepada mereka, jika mereka menang, mereka semua akan mendapatkan semua nasi lemak yang ingin mereka makan.
Anda semua dipersilakan menonton pertandingan, tetapi jangan gunakan itu sebagai alasan untuk memulai bentrokan.
Tuan dan nyonya,
Selalu menyenangkan berada di sini, di Malaysia. Bagi saya, datang ke Malaysia tak merasa seperti pergi ke luar negeri, rasanya seperti mengambil perjalanan singkat untuk mengunjungi sepupu dekat.
Selama saya menjabat sebagai Presiden Indonesia, mengembangkan hubungan dekat dengan malaysia adalah prioritas kebijakan luar negeri.
Kami membentuk mekanisme diplomatik khusus dalam bentuk pertemuan bilateral tahunan, antara presiden Indonesia dan perdana menteri Malaysia, mekanisme yang terus berlanjut hingga hari ini.
Dari keterlibatan ini, kami dapat mengelola apa yang pada dasarnya disebut sebagai hubungan bilateral yang kaya dan padat, meliputi keamanan, perdagangan, investasi, infrastruktur, pariwisata, pendidikan, pekerja migran dan tentu saja kerjasama ASEAN.
Terlepas dari hubungan baik kami, harus saya akui kadang-kadang saya merasa gugup tentang hubungan ini. Itu biasanya terjadi ketika ada pertandingan sepak bola antara Indonesia dan Malaysia.
Memutuskan mana tim yang lebih baik adalah isu yang sangat sensitif. Itulah mengapa saya memiliki masalah terkait hubungan Indonesia dan Malaysia.
Sementara, tentu saja saya berpendapat ingin menjauh dari subjek itu hari ini. Saya takut untuk menyebutnya.
Baca Juga: Rusia Tidak Perlu Gunakan Senjata Nuklir di Ukraina, kata Menhan Sergei Shoigu
Tuan dan nyonya,
Hari ini, saya ingin berbagi pemikiran saya dengan Anda, tentang beberapa masalah global yang menentukan hidup kita hari ini, dan bagaimana kita dapat membuatnya jadi lebih baik.
Tema pidato saya adalah "A Better World is Possible," Kita bisa membuat dunia kita lebih baik.
Izinkan saya memulai dengan observasi ini.
Saat saya melihat keadaan dunia sekarang, sulit untuk merasakan optimisme yang luar biasa. Seorang anak muda, baru-baru ini bercerita kepada saya.
Dia melihat keadaan buruk 15 juta pengungsi Ukraina, pembunuhan mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, kekacauan politik di Sri Lanka, penembakan anak-anak SD di Uvalde, Amerika Serikat (AS), serta inflasi AS naik pada tingkat tertinggi dalam empat dekade terakhir.
Melihat semua ini, mereka merasa agak tertekan dengan kondisi dunia, itu perasaan yang dibagikan oleh banyak rekan-rekannya di seluruh dunia.
Agar lebih jelas, dunia tampaknya tidak menuju ke arah yang benar, tentu saja tidak menjadi lebih baik, bahkan sebenarnya mungkin bakal kian buruk.
Setidaknya dalam waktu dekat, kita siap untuk melihat lebih banyak kesulitan ekonomi, lebih banyak "teka-teki" kebijakan dan lebih banyak masalah lingkungan.
Izinkan saya menyorot, setidaknya tiga bidang utama, yang menghadirkan tantangan bagi masyarakat internasional, yaitu: ekonomi, geopolitik dan iklim.
Tantangan pertama adalah meningkatnya persaingan geopolitik yang berbahaya, kita memasuki era baru persaingan kekuatan besar.
Beberapa pakar telah mulai berbicara tentang Perang Dingin 2.0, Perang Dingin baru, atau perdamaian panas, dalam kaitannya dengan perkembangan ini. Agar lebih nyaman, kita sebut saja situasi ini sebagai resesi geopolitik.
Perang Ukraina telah meresmikan resesi geopolitik ini, juga meningkatkan eskalasi ke level berikutnya. Persaingan kekuatan besar sekarang memasuki fase berbahaya, tarifnya meningkat, biayanya lebih mahal, taruhannya lebih tinggi.
Ini adalah kompetisi sistematis, dengan pola pikir zero-sum, yang berarti satu pihak harus menang dan pihak lain harus kalah.
Hubungan antar-kekuatan besar ditandai dengan konflik yang intensif, meningkatkan persaingan, membuahkan rasa tidak aman, sehingga tumbuh rasa saling tidak percaya.
Dalam persaingan macam ini, kita juga melihat lebih banyak sektor yang diberi suplai amunisi demi keuntungan strategis, seperti keuangan, komoditas, energi, investasi, makanan, dan bahkan sektor antariksa. Masing-masing didorong oleh kebanggaan dan emosi.
Kita harus berharap untuk melihat lebih banyak keahlian, yang memberikan kalkulasi potensi kesalahan. Kita melihat ini dalam kasus ketegangan Taiwan, di mana kami yakin akan memperburuk hubungan AS dengan Cina di masa mendatang.
Pagi ini saya melihat BBC, menceritakan tentang hari kemarin, ketika China melakukan latihan militer di seputar Taiwan. Itu dilakukan untuk menanggapi kunjungan lima DPR AS, sehari sebelumnya.
Unjuk kemampuan militer ini, bukan hal seperle jika kita memperhitungkan beberapa banyak senjata nuklir yamilik pihak yang bertikai.
Persaingan geostrategis ini, saya khawatir, menjadi keretakan semi permanen dari sistem internasional.
Bahkan, jika entah bagaimana Perang Ukraina secara ajaib, misal berakhir besok, persaingan strategis antara Barat dan Rusia bakal memiliki situasi yang mirip, di mana ketidakpercayaan bakal berjalan stagnan.
Tuan dan nyonya,
Bahkan dalam situasi persaingan geopolitik yang belum tuntas, kita juga harus bersiap menghadapi momok lainnya, terkait kemungkinan resesi ekonomi dunia.
Pada akhir tahun 2021, semua memiliki harapan tinggi untuk ekonomi dunia yang lebih baik di tahun 2022, setelah kian banyak vaksin diproduksi. Kendati ada masalah ketidakadilan vaksin, miliaran orang sudah divaksinasi.
Lockdown dicabut, bisnis dan sekolah dibuka kembali, lalu lintas udara kembali booming dan banyak sektor ekonomi, termasuk Malaysia dan Indonesia sedang tumbuh kembali.
Namun, saat dunia mulai pulih, kita tiba-tiba dilanda krisis ganda. Ini datang dari riset pandemi, yang menghantam keras beberapa negara, juga dampak dahsyat dari perang Ukraina.
Ada juga ancaman dari penyakit baru yang menyebar, cacar monyet, yang telah dinyatakan sebagai darurat kesehatan global oleh WHO.
Perang Ukraina menyebabkan krisis di tiga sektor, energi, pangan dan keuangan. Harga gandum, jagung, pupuk, minyak goreng telah naik.
Harga minyak naik secara signifikan dan begitu juga harga gas meningkat. Harga pangan dan energi telah menyebabkan krisis biaya hidup di banyak negara.
Beberapa negara diuntungkan dari kenaikan harga komoditas, seperti minyak sawit dan batu bara, tetapi ini hanya momentum sesaat.
Kita melihat inflasi tinggi sepanjang waktu, baik di negara maju maupun negara-negara berkembang. Sementara itu, total utang global mencapai rekor tertinggi, lebih dari 300 triliun dolar AS, melonjak 100 triliun dolar AS alias kenaikan tertinggi sejak Perang Dunia II.
Kekhawatiran sebenarnya adalah bahwa 30 pasar negara berkembang dan 60 persen ekonomi berpenghasilan rendah berada dalam posisi risiko tinggi kesulitan utang atau gagal bayar. Sehingga 100 negara harus mengurangi pengeluarannya di bidang pendidikan, perlindungan sosial, dan kesehatan masyarakat.
Untuk beberapa negara berpenghasilan rendah, itu juga bisa diartikan meningkatnya kelaparan dan kerawanan pangan selama krisis.
Dampak sosial dan politik dari semua ini tidak dapat diremehkan. Baru bulan lalu, IMF memperingatkan bahwa dunia mungkin berada di ambang resesi ekonomi, di mana AS, Eropa dan Cina, telah mengalami pertumbuhan yang jauh lebih lambat daripada yang diprediksi sebelumnya.
Ini juga menimbulkan ketimpangan yang lebih besar. Saya terkejut mengetahui dari Laporan Ketidaksetaraan PBB, bahwa pada 2021, kenjangan global tetap sangat mencolok.
Laporan yang sama mengatakan, satu persen data teratas, mengambil 38 persen dari semua kekayaan tambahan, akumulasi sejak pertengahan 1990-an alias tanpa akselerasi hingga 2020. Tidak ada satu strategi pun yang cukup, untuk menyelesaikan masalah lama kita.
Sejak Millennium Development Goals (MDGs), berakhir pada 2015, lebih dari 190 pemimpin telah berkomitmen untuk agenda baru pembangunan 2030.
Mereka mengadopsi 17 tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) untuk membantu kita semua mengakhiri kemiskinan ekstrim, melawan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, serta memperbaiki perubahan iklim.
Saya sebenarnya terlibat dalam membingkai SDGs, melalui peran saya sebagai ketua bersama panel tingkat tinggi orang-orang terkemuka PBB, dalam agenda pembangunan pasca-2015, bersama Perdana Menteri David Cameron dari Inggris dan Presiden Johnson Sirleaf dari Liberia.
Saat itu, saya secara sadar ingin memastikan bahwa pembangunan, di manapun di dunia ini, dalam 15 tahun ke depan harus mengarah pada nol kemiskinan ekstrim, memenuhi kebutuhan dasar manusia, dan melindungi keamanan manusia.
Tuan dan nyonya,
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.