BRUSSELS, KOMPAS.TV — NATO akan meningkatkan secara drastis kekuatan pasukan reaksi cepatnya hingga hampir delapan kali lipat menjadi 300.000 tentara sebagai bagian dari tanggapannya terhadap "era persaingan strategis".
Hal itu diungkapkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) NATO Jens Stoltenberg, Senin (27/6/2022), seperti dilansir Associated Press.
Pasukan reaksi cepat NATO saat ini berjumlah sekitar 40.000 tentara yang dapat dikerahkan dengan cepat saat dibutuhkan.
Ditambah dengan langkah-langkah lain termasuk pengerahan pasukan untuk membela sekutu tertentu, Stoltenberg mengatakan, langkah itu adalah bagian dari "perombakan terbesar pertahanan kolektif dan pencegahan sejak Perang Dingin."
Stoltenberg membuat pernyataan pada konferensi pers menjelang KTT NATO akhir pekan ini di Madrid ketika 30 sekutu diharapkan juga menyetujui dukungan lebih lanjut untuk Ukraina dalam perang melawan Rusia.
Stoltenberg mengatakan, dia berharap para sekutu memperjelas bahwa mereka menganggap Rusia "sebagai ancaman paling signifikan dan langsung terhadap keamanan kami."
Dalam konsep strategis baru NATO, aliansi tersebut juga diharapkan untuk pertama kalinya mengatasi tantangan keamanan yang ditimbulkan oleh China, kata Stoltenberg.
Baca Juga: Turki Pilih Hormati Rusia, Tak Ikut Gabung Pemberi Sanksi Anti-Rusia Meski Anggota NATO
Di Madrid, para sekutu NATO akan membahas bagaimana menanggapi pengaruh Rusia dan China yang berkembang di "lingkungan selatan" mereka, tambahnya.
Stoltenberg mengatakan, para sekutu akan setuju untuk memberikan dukungan militer lebih lanjut kepada Ukraina ketika mereka berkumpul di Spanyol, dengan anggota NATO akan mengadopsi "paket bantuan komprehensif yang diperkuat," termasuk pengiriman sistem komunikasi dan anti-drone yang aman.
Dalam jangka panjang, Stoltenberg mengatakan, para sekutu bertujuan untuk membantu transisi Ukraina dari persenjataan era Soviet menuju peralatan NATO modern.
Tujuh kekuatan ekonomi terkemuka dunia pada Senin menggarisbawahi komitmen mereka untuk Ukraina untuk "selama diperlukan."
Tema sentral lainnya pada KTT NATO adalah kemungkinan Finlandia dan Swedia bergabung dengan aliansi tersebut setelah serangan Rusia ke Ukraina.
Anggota NATO, Turki, sejauh ini memblokir upaya kedua negara tersebut, dengan alasan apa yang dianggap sebagai pendekatan lunak kedua negara terhadap organisasi yang dianggap teroris oleh Turki, seperti Partai Pekerja Kurdistan, atau PKK.
Baca Juga: Sekjen NATO: Perang Rusia-Ukraina Akan Diselesaikan di Meja Perundingan
Turki menuntut Swedia dan Finlandia mengabulkan permintaan ekstradisi bagi individu yang dicari oleh otoritas Turki.
Ankara mengeklaim negara-negara itu menyembunyikan anggota PKK serta orang-orang yang dikatakan terkait dengan kudeta 2016 yang gagal.
Turki juga menginginkan jaminan bahwa pembatasan senjata yang diberlakukan oleh kedua negara atas serangan militer Turki 2019 ke Suriah utara, dihapus.
Stoltenberg mengatakan bahwa Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Presiden Finlandia Sauli Niinisto dan Perdana Menteri Swedia Magdalena Andersson sepakat untuk bertemu di sela-sela KTT.
"Kami bekerja keras sejak Finlandia dan Swedia mengajukan keanggotaan untuk memastikan mereka dapat bergabung dengan aliansi (NATO) sesegera mungkin," kata Stoltenberg,
"Saya tidak akan menjanjikan apa pun, tetapi saya dapat meyakinkan Anda bahwa kami bekerja secara aktif untuk memastikan kemajuan karena penerapan Finlandia dan Swedia untuk bergabung dengan NATO, itu bersejarah."
Sumber : Kompas TV/Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.