WELLINGTON, KOMPAS.TV – Hidup di luar negeri tidak selalu mudah dan indah seperti yang dilihat dari kacamata orang-orang yang hidup di tanah air. Sebaliknya, hidup di negara orang dipenuhi perjuangan dan keuletan.
Hal ini juga dialami Arifai Enrang, seorang WNI yang telah tinggal di Selandia Baru selama 14 tahun. Arifai menjalani perjuangan dari bawah, mulai dari bekerja sebagai pencuci piring di restoran, hingga kini berhasil membuka restoran sendiri di Wellington, ibukota Selandia Baru.
Awalnya pria yang kerap disapa Rifai ini datang ke Selandia Baru untuk kursus bahasa Inggris dan sekolah bisnis manajemen. Kemudian merasa senang tinggal di negara Kiwi dan memutuskan untuk mencari pekerjaan.
“Salah satu pekerjaan paling mudah di Selandia Baru adalah pekerjaan di dapur. Ada dua pilihan kerja disini, kerja di dapur atau menjadi cleaner. Saya awalnya menjadi pencuci piring. Tapi disini cuci piring enak, karena pakai mesin,” ujar Rifai ketika berbincang-bincang dengan Kedutaan Selandia Baru di Jakarta dalam Instagram Live.
Kemudian dia mulai membantu-bantu di dapur restoran seperti memotong bahan makanan. Melihat ketekunannya, head chef di restoran tersebut yang merupakan warga negara Prancis melatihnya untuk memasak. Meskipun pekerjaan di restoran cukup berat, namun dia tetap melakoni pekerjaan ini.
Baca Juga: Serahkan Surat Kepercayaan, Fientje Suebu Resmi Menjabat Sebagai Dubes RI Untuk Selandia Baru
“Dari situ saya mulai bekerja di beberapa tempat. Saya jarang bekerja fulltime, karena saya ingin mengetahui apa rahasia kerja di restoran disini. Dalam seminggu saya bisa bekerja di 3-4 tempat,” ujarnya.
Kemudian setelah bertahun-tahun kerja di restoran, akhirnya pada tahun 2017 dia memberanikan diri untuk membeli food truck atau mobil yang difungsikan untuk menjual makanan. Dia pun menjual masakan sendiri melalui food truck yang diberi nama IndoPlus.
Ia menjual berbagai menu makanan Indonesia dalam food truck ini, seperti nasi goreng, mie goreng dan berbagai kue khas Indonesia. Selain menjual makanan di food truck, ia juga kerap menerima pesanan makanan dari Kedutaan Besar RI di Wellington. Ia mengaku sangat terbantu dengan berbagai pesanan yang kerap dipercayakan KBRI kepadanya.
“Kami sangat terbantu dengan pesanan dari KBRI. Pak Dubes Tantowi Yahya mempercayakan makanan-makanan kepada saya. KBRI pernah memesan 1.000 porsi untuk acara Natal, yang semuanya menu dari Makassar. Sebelum COVID juga banyak artis ke sini. Kami sering sekali diminta Pak Dubes untuk memasak,” kata pria yang berasal dari Makassar ini.
Kemudian usahanya semakin berkembang, hingga pada November 2021 dia membuka restoran bernama The Capital Bistro di Wellington.
Ketika Kompas TV menyambangi restoran ini di Wellington, ia terlihat sibuk di dapur untuk melayani pelanggannya. Hal yang menarik di sini, kami hanyalah satu-satunya pelanggan yang berasal dari Indonesia. Pelanggan yang lain terlihat merupakan warga Selandia Baru.
“Restoran ini masih bayi dan saya mengambil resiko, karena beberapa teman juga bertanya, kenapa harus buka restoran, kenapa tidak food truck saja? Saya bismillah saja, buka restoran ini walaupun di tengah situasi COVID,” katanya.
Baca Juga: Wow, Polisi Selandia Baru Pakai Lagu Baby Shark dan Let It Go Frozen Hadapi Demonstran Anti-Vaksin
Namun demikian, ia tetap nekad membuka restoran sendiri, terlebih karena memiliki misi dan pesan yang disampaikan melalui restoran ini.
“Saya ingin makanan Indonesia bisa ditampilkan dengan lebih modern dan cantik. Kebanyakan orang kiwi tahunya hanya street food Indonesia. Tapi di Capital Bistro, kita menunjukkan makanan Indonesia juga bisa naik kelas menjadi fine dining. Ini kesempatan emas untuk memperkenalkan makanan Indonesia,” ujarnya.
Namun demikian, ia mengakui memang tantangan yang dihadapinya dalam membuka restoran tidak mudah. Menurut Rifai, salah satu tantangan terbesar untuk membuka restoran di Selandia Baru adalah modal. Di samping itu, kemauan dan keuletan untuk berusaha juga menjadi tantangan besar. Terkadang ketakutan kita yang akhirnya mengurungkan niat untuk berusaha.
Selain tantangan-tantangan itu, menurutnya untuk membuka usaha atau berinvestasi di Selandia Baru cukup mudah.
Namun dia mengakui, restoran di Selandia Baru juga memiliki standar yang ketat, misalkan seperti standar kebersihan dan keamanan makanan. Seorang pengusaha bisa membuka restoran di Selandia Baru jika sudah mendapatkan izin dari City Council, kemudian City Council juga akan memeriksa kebersihan dan keamanan makanan setiap enam bulan sekali.
“Dalam pemeriksaan City Council yang kemarin, kami mendapat sertifikat excellent,” ujarnya.
Di restoran The Capital Bistro, menu yang ditawarkan umumnya western, namun tetap mendapatkan sentuhan Indonesia. Contohnya ada menu fushion atau percampuran antara western dan Indonesia, yaitu iga bakar dengan bumbu rendang dan chicken mango salad.
Meskipun menjual makanan Indonesia, namun menurut Rifai, 80 persen dari pelanggannya justru bukan warga Indonesia. Dia memiliki banyak pelanggan yang merupakan warga Selandia Baru, Malaysia, hingga Filipina.
Rifai mengaku, agar menu masakannya bisa diterima lidah internasional, harus dilakukan modifikasi resep. Contohnya iga bakar yang dijualnya tidak bercita rasa pedas. Namun untuk menjaga agar tetap ada citarasa Indonesia, sambalnya dipisah dari iga bakar, sehingga bisa disesuaikan dengan level kepedasan masing-masing pelanggan.
“Kita harus mencoba memodifikasi menu terus menerus, jadi tidak boleh stagnan dan hanya menjual menu yang itu-itu saja, karena orang-orang kiwi senang mencoba makanan baru,” ujarnya.
Rifai berharap, di masa yang akan datang akan lahir lagi pengusaha-pengusaha Indonesia yang membuka restoran Indonesia di Selandia Baru, sehingga Indonesia lebih dikenal.
“Saya titip pesan agar teman yang akan berangkat ke Selandia Baru untuk memperkaya skill seperti masak atau perbengkelan. Kalau ke luar negeri jangan hanya untuk bekerja, tapi juga diniatkan untuk menjadi pengusaha,” katanya.
Baca Juga: PM Selandia Baru Kutuk Serangan Rusia, Warganya Berdemo ke Kedutaan Rusia
Menurutnya saat ini masih sangat sedikit restoran Indonesia di Selandia Baru. Di seluruh Selandia Baru, hanya terdapat kurang dari 50 restoran Indonesia. Selebihnya ada yang masih mengandalkan usaha rumahan.
“Saya terpikir sudah setahun ke depan, untuk membuka restoran Indonesia untuk breakfast and lunch. Mungkin bukan 100 persen makanan Indonesia, tapi fushion. Saya butuh partner untuk membuka restoran ini, karena tidak sanggup kalau melakukannya sendiri,” katanya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.