MARIUPOL, KOMPAS.TV – Valentyna Konstantinovska, 79, menyatakan siap angkat senjata dan melawan tentara Rusia baik bertempur maupun tarung satu lawan satu untuk melindungi kotanya jika Presiden Vladimir Putin memerintahkan invasi ke Ukraina.
Setelah menjadi sukarelawan sejak konflik pecah di negara itu pada 2014, Konstantinovska dan pasukan "babushka", yaitu nenek-nenek, telah menggali parit, menyediakan persediaan, membuat jaring, menawarkan perawatan medis, dan bahkan membangun menara pengintai, seperti dilaporkan Al Jazeera, Selasa (15/2/2022).
Saat ketegangan dengan Rusia memasuki minggu kritis di mana Amerika Serikat memperingatkan bahwa pasukan Rusia dapat kapan saja menyerbu untuk merebut Ukraina hanya dalam beberapa hari, kaum perempuan dilaporkan siap melakukan apa pun untuk membantu upaya perang, bahkan meluncurkan batalion babushka.
“Saya mencintai kota saya, saya tidak akan pergi. Putin tidak bisa menakut-nakuti kita. Ya, itu menakutkan, tetapi kami akan membela Ukraina kami sampai akhir,” kata Konstantinovska dalam sebuah acara untuk melatih penduduk kota bagaimana mempersiapkan dan membela diri.
Diselenggarakan oleh gerakan sayap kanan Azov, pelatihan tersebut memberi pelatihan dasar perawatan medis tempur dasar, kemampuan bertahan hidup dan evakuasi, serta bagaimana mengamankan dan menembakkan senjata.
Warga mengatakan itu adalah satu-satunya pelatihan keselamatan atau kesadaran yang mereka terima selama hampir delapan tahun konflik.
“Saya sudah bermimpi sejak 2014 untuk belajar menggunakan pistol, tetapi saya ditegur, 'babushka, kamu terlalu tua untuk itu. Anda akan terlempar ke belakang saat menembak,” kata Konstantinovska, saat berbaring di matras yoga dengan mantel sutra berwarna lemon untuk berlatih membidik dengan senapan serbu model AK-47.
Baca Juga: Latihan Militer Hampir Selesai, Rusia Tarik Sebagian Pasukan dari Perbatasan Ukraina
'Seperti anak-anakmu sekarat'
Gerakan Azov, unit militer infanteri sukarelawan sayap kanan, adalah kaum ultra nasionalis yang dituduh menyembunyikan ideologi neo-Nazi dan supremasi kulit putih.
Sayap politik yang berbasis di Kiev mendapat sedikit dukungan, dan mereka gagal meraih kursi di parlemen pada pemilihan terbaru pada 2019.
Namun, di Mariupol, pasukan militer Azov sering dilihat sebagai pembela kota setelah mereka merebutnya kembali dari pendudukan singkat oleh separatis yang didukung Rusia pada 2014.
Berbasis di daerah yang berjarak 40 km dari kota pelabuhan strategis, mereka berada di lini pertama garis pertahanan jika terjadi serbuan.
Sejak Azov dilarang dari Facebook pada 2019 karena menyebarkan ujaran kebencian, acara tersebut diiklankan melalui Instagram tanpa menyebutkan keterlibatan Azov dan tidak semua dari 300 atau lebih peserta tahu siapa yang menyelenggarakannya.
Bagi Konstantinovska, yang berbeda pandangan politik dengan kelompok Azov, satu-satunya ideologi yang dia pedulikan adalah “membela tanah air mereka”, yang dia setujui dengan sepenuh hati dan bersedia melakukan apa yang dia bisa untuk membantu.
Liudmyla Smahlenko, 65, kehilangan seorang kerabat yang terbunuh saat memerangi separatis di Ukraina timur pada 2015.
Dia mengatakan, setelah bertahun-tahun menjadi sukarelawan untuk upaya perang, dia memiliki hubungan batin yang kuat dengan para pemuda yang berperang.
Baca Juga: Khawatir Serangan Rusia, Bank Dunia dan IMF Pindahkan Staf dari Ukraina
“Kami sudah lama menjadi batalyon babushka. Pada tahun 2014, kami menggali parit, mendirikan pangkalan lapangan dan kami menyumbangkan bantal dan selimut, piring, mug, kami membawa semua yang kami bisa,” kata Smahlenko, berpakaian pink kehitaman dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Anda mencoba membantu para prajurit dan mereka menjadi seperti anak-anak Anda. Kemudian salah satu dari mereka mati. Banyak yang sekarang hilang dan setiap kali, rasanya seperti anak-anak Anda yang sekarat dan mati.”
Dia juga siap untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk melindungi Mariupol dan untuk menunjukkan rasa terima kasih kepada para pemuda yang muncul pada 2014 dan "yang pertama di antara yang terluka akibat penembakan".
“Saya siap bertarung jika Rusia menyerang, bahkan jika saya harus berkelahi dengan mereka. Mereka bukan saudara kita,” katanya.
Sementara pemerintah Ukraina sengaja menganggap ringan ancaman serangan untuk tidak membuat panik, sementara Amerika Serikat justru memperingatkan serangan bisa datang kapan saja sekarang, gerakan Azov mengatakan krisis sekarang pada puncak tertinggi dan "sangat berbahaya".
Baca Juga: Sepotong Harapan: Kremlin Pertimbangkan Jalur Diplomatik untuk Krisis Ukraina
Tindakan pencegahan pemerintah diragukan
Banyak pihak di Ukraina mempertanyakan kesiapan dan persiapan pemerintah mereka menyediakan tempat perlindungan dari serangan, karena banyak tempat perlindungan dari serangan bom yang rusak.
Selain itu, banyak keluhan tidak adanya sistem peringatan digital, meskipun pemerintah Ukraina mengaku sedang merancang hal tersebut.
Pemerintah Ukraina beberapa waktu lalu membentuk sebuah tim pertahanan teritorial sipil untuk melatih tentara cadangan, tetapi baru sedikit pelatihan kewaspadaan atas lingkungan yang berbahaya disediakan kepada warga.
Kelompok Azov mengatakan mereka menyelenggarakan pelatihan secara teratur kepada warga untuk membantu mempersiapkan penduduk agar dapat lebih mandiri jika terjadi serangan, sehingga memungkinkan tentara untuk berkonsentrasi pada masalah militer.
“Kami tidak bisa membenamkan kepala kami di pasir karena itu paling tidak bertanggung jawab, jadi kami menyelenggarakan acara ini hari ini secara khusus untuk mengambil tanggung jawab di pundak kami sendiri. Warga sipil di sini adalah tanggung jawab kami dan mereka perlu tahu bahwa kami akan berdiri di sini sampai titik darah penghabisan,” kata seorang komandan Azov, yang meminta tidak disebutkan namanya, kepada Al Jazeera.
“Kami akan berdiri di tanah kami sampai kami mati.”
'Semuanya terbakar'
Bagi Liudmyla Halbay, 72, yang menyelenggarakan kelas bahasa Ukraina gratis di wilayah yang didominasi penutur bahasa Rusia, pelatihan tersebut membuatnya merasa lebih aman di tengah prediksi apokaliptik yang dipimpin oleh media Barat.
Tidak peduli seberapa tinggi tingkat ancaman, bagaimanapun, baginya mengungsi bukanlah pilihan.
“Saya tidak punya tas evakuasi atau grab bag tahun 2014 dan saya sekarang juga tidak mempersiapkan itu. Saat semuanya terbakar dan runtuh di sekitar saya, yang saya lakukan hanyalah melihat bagaimana saya bisa membantu,” kata Halbay, berpakaian serba hitam mengenakan topi bulu yang melambai tertiup angin lembut musim dingin Ukraina.
“Kita harus bertahan entah bagaimana dan ini membantu meredakan rasa takut. Kami juga berharap seluruh dunia akan membantu kami dan perang tidak akan terjadi.”
Sumber : Kompas TV/Al-Jazeera
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.