KHARTOUM, KOMPAS.TV - Dalam karir militer yang panjang di bawah bekas presiden Sudan, Omar al-Bashir, Abdul Fattah al-Burhan melesat hingga menduduki berbagai jabatan strategis seraya tidak menonjolkan diri dan relatif tidak dikenal.
Dia memimpin pasukan darat negara itu sebelum Omar al-Bashir mengangkatnya menjadi inspektur jenderal angkatan darat pada Februari 2019, dua bulan sebelum militer menggulingkan Bashir dari kekuasaan.
Media dan analis Sudan mengatakan al-Burhan mengirim pasukan Sudan ke Yaman sebagai bagian dari koalisi pimpinan Arab Saudi yang melakukan intervensi sejak 2015 terhadap pemberontakan kelompok Huthi yang didukung Iran.
Keputusan al-Burhan mengirim pasukan tempur ke Yaman di bawah komando Arab Saudi itu adalah peran penting di belakang layar dalam keterlibatan militer Sudan di Yaman.
Willow Berridge, penulis "Civil Uprisings in Modern Sudan" dan dosen sejarah di Universitas Newcastle, mengatakan kepemimpinan Jenderal Burhan membawa pasukan Sudan ke Yaman membuatnya bekerja sama erat dengan Pasukan Reaksi Cepat paramiliter Sudan, atau Rapid Support Force (RSF).
Dengan dukungan RSF, Burhan mengambil alih jabatan tertinggi militer Sudan pada 2019, kata Berridge.
"Peran dalam langkah terbaru Pasukan Reaksi Cepat ini, yang dicap oleh banyak orang sebagai versi baru dari milisi Janjaweed yang melakukan kekejaman massal di Darfur, akan membuat banyak orang berhati-hati," katanya saat itu.
Bashir mengerahkan pasukan Sudan ke Yaman pada 2015 sebagai bagian dari perubahan kebijakan luar negeri utama yang membuat Khartoum memutuskan hubungan lama dengan Teheran dan bergabung dengan koalisi yang dipimpin Arab Saudi.
Namun militer Sudan menderita jumlah korban yang signifikan pada perang Yaman.
Pada musim semi 2019 setelah gagalnya pembicaraan antara pengunjuk rasa dan dewan transisi nasional yang dipimpin Jenderal Burhan, ia mengunjungi Mesir, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi.
Baca Juga: Kudeta Militer Sudan Dikecam Dunia, PBB hingga China Berikan Respons
Kerajaan-kerajaan di Teluk Arab adalah donor penting bagi Sudan, yang memberikan deposito awal senilai 500 juta dolar di bank sentral Sudan setelah penggulingan Bashir, sebagai bagian dari paket bantuan 3 miliar dolar yang dijanjikan untuk mempertahankan pengaruh kerajaan dan kesultanan di Teluk Arab di Sudan.
Setelah penggulingan Bashir, Burhan dilantik sebagai pemimpin sementara Sudan pada 11 April 2019 dan pada Agustus tahun itu ditugaskan untuk memimpin Dewan Kedaulatan yang isinya terdiri dari tokoh-tokoh militer dan sipil yang bertugas mengarahkan transisi ke demokrasi penuh.
Tetapi pada Senin (25/10/2021), al-Burhan yang berkumis, dengan baret hijau dan seragam militernya, muncul di TV nasional memerintahkan agar kabinet dan Dewan Kedaulatan dibubarkan, lalu mengumumkan keadaan darurat nasional.
Saat menjadi ketua Dewan Kedaulatan, Burhan memperkuat hubungan Sudan dengan kekuatan global dan pemain regional termasuk Amerika Serikat dan Israel.
Pada Februari 2020, Jenderal al-Burhan bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Uganda.
"Burhan adalah perwira tinggi di angkatan bersenjata, tetapi pada dasarnya dia adalah seorang veteran tentara lapangan," kata seorang perwira militer Sudan, yang tidak mau disebutkan namanya.
"Dia tidak pernah menjadi pusat perhatian," kata petugas itu.
Bahkan setelah penggulingan Bashir, Burhan terus bersikap low profile, sering membiarkan anggota dewan lainnya berbicara di depan kamera.
Burhan sempat bertugas sebagai atase pertahanan Sudan di Beijing.
Lahir pada 1960 di desa Gandatu, utara Khartoum, Burhan belajar di akademi militer Sudan dan kemudian di Mesir dan Yordania.
Jenderal gaek itu sudah menikah dan memiliki tiga anak.
Sumber : Kompas TV/France24
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.