PARIS, KOMPAS.TV - Terakhir kali Taliban berkuasa, jejaring sosial adalah sesuatu dari masa depan. Tetapi kali ini, pengambilalihan Afghanistan oleh kelompok Taliban menimbulkan pertanyaan rumit yang membuat mumet raksasa media sosial dunia seperti Facebook dan Twitter, seperti dilansir Radio France International, Kamis (19/08/2021).
Ketika masuknya mereka ke Kabul memicu kepanikan dunia, pejabat Taliban justru menggunakan Twitter untuk memproyeksikan pesan ketenangan bagi publik di dalam dan di luar perbatasan Afghanistan.
Juru bicara resmi Taliban, Suhail Shaheen menggunakan media sosial untuk membantah klaim bahwa Taliban memaksa gadis-gadis muda untuk menikahi gerilyawan mereka dan mengatakan itu adalah "propaganda beracun". Shaheen juga berupaya meyakinkan lebih dari 350.000 pengikutnya di media sosial bahwa berbagai laporan pembunuhan adalah "tidak berdasar".
Fakta bahwa pejabat Taliban mencuit di Twitter menyebabkan kemarahan di antara beberapa kalangan. Tak terkecuali pengikut Donald Trump, bekas presiden Amerika Serikat (AS) yang diblokir Twitter bulan Januari lalu karena dugaan menghasut kekerasan.
"Saya menantikan jawaban segera tentang mengapa mantan Presiden AS dilarang (punya akun Twitter) sementara dua juru bicara Taliban diizinkan untuk tetap punya (dan menggunakan akun Twitter)," sungut anggota kongres AS Doug Lamborn dalam sebuah surat kepada CEO Twitter Jack Dorsey.
Lamborn dan pengkritik lainnya mengatakan, Twitter memberikan Taliban corong megafon kelas dunia, yang memungkinkan kaum militan dengan rekam jejak brutal untuk menampilkan diri mereka sebagai sah.
Di sisi lain, warga Afghanistan sangat ingin tahu lebih banyak tentang apa yang diharapkan dari penguasa baru mereka. Beberapa berpendapat bahwa mencabut alat komunikasi apa pun bertentangan dengan kepentingan publik.
Di WhatsApp, akun juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid tampaknya telah diblokir. Sementara, Financial Times melaporkan, saluran bantuan WhatsApp Taliban yang memungkinkan warga melaporkan terjadinya penjarahan juga ditutup atau diblokir.
Kebijakan Whatsapp itu menuai kritik dari banyak kalangan aktivis. Mereka beralasan, layanan tersebut ternyata berguna bagi publik di tempat-tempat yang sudah dikuasai Taliban. Taliban sendiri saat ini melarang keras penjarahan.
Baca Juga: Sabar Jadi Strategi Taliban Kembali Berkuasa di Afghanistan
Seorang juru bicara WhatsApp menolak untuk memastikan adanya penutupan akun Taliban, tetapi mengatakan, "Kami berkewajiban untuk mematuhi undang-undang sanksi AS, dan ini termasuk melarang akun yang tampaknya mewakili diri mereka sebagai akun resmi Taliban."
Baca Juga: Oknum Taliban Eksekusi Mati Perempuan yang Tak Pakai Burqa, Padahal Tegaskan Hormati Hak Mereka
Sementara itu pemilik WhatsApp yaitu Facebook, memastikan mereka telah bertahun-tahun memandang Taliban sebagai teroris. Oleh karena itu, mereka memblokir akun-akun Taliban di jaringan ini, serta di Instagram yang juga dimiliki Facebook.
Kebijakan tersebut memicu tanggapan tajam dari Mujahid, pemilik akun Whatsapp yang diblokir, ketika ditanya apakah Taliban akan melindungi kebebasan berbicara. "Perusahaan Facebook, pertanyaan ini harus ditanyakan kepada mereka," katanya sengit.
YouTube juga mengatakan akan menghapus konten pro-Taliban.
Twitter tidak menanggapi permintaan komentar. Tetapi Shaheen dan tiga juru bicara Taliban lainnya, yang bersama-sama memiliki hampir satu juta pengikut, masih bisa terus melakukan aktivitas mengunggah. Ini menunjukkan bahwa situs tersebut sejauh ini menolak untuk melarang mereka di bawah kebijakan "organisasi kekerasan".
Seperti Facebook, Twitter sebelumnya merujuk pada daftar orang dan lembaga terkait teror yang dibuat AS untuk membenarkan penghapusan konten yang diunggah oleh kelompok-kelompok Islam seperti Hamas dan Hizbullah.
Tetapi status Taliban kini sedikit ambigu dan bikin mumet. Mereka muncul dalam Daftar Teroris Global yang Ditunjuk Khusus Departemen Keuangan AS, tetapi tidak diklasifikasikan sebagai Organisasi Teroris Asing oleh Departemen Luar Negeri AS.
Raman Chima, direktur kebijakan Asia di kelompok advokasi internet Access Now, menyarankan jejaring sosial harus fokus pada penilaian kasus per kasus. Ini termasuk seperti menilai apakah unggahan resmi Taliban menghasut kekerasan atau tidak, ketimbang mengandalkan penunjukan dan referensi pemerintah.
Chima mencatat mereka, raksasa-raksasa media sosial, menghadapi kesulitan yang sama setelah kudeta Myanmar pada bulan Februari mengenai apakah akan memblokir platform junta militer Myanmar atau tidak.
"Dengan Afghanistan, itu sangat bergantung pada diskusi dan musyawarah pembagian kekuasaan," kata Chima. "Jika Taliban secara resmi diakui sebagai bagian dari itu, kita mungkin akan melihat lebih banyak tekanan pada perusahaan penyedia jasa media sosial seperti Twitter, Instagram dan Facebook untuk tidak mengambil posisi keras seperti yang mereka lakukan terhadap Junta Militer Myanmar."
Baca Juga: Imbas Taliban Kembali Kuasai Afghanistan, IMF Hentikan Bantuan Pinjaman
Akun Taliban 'Centang Biru'?
Pertanyaan menyoal apakah Taliban akan diizinkan untuk berkomunikasi melalui akun resmi kementerian pemerintah Afghanistan, yang beberapa di antaranya punya puluhan ribu pengikut dan terverifikasi sebagai akun "centang biru", masih belum terjawab.
Untuk saat ini, memberi label per konten (atau per unggahan) dari akun yang dikelola Taliban dan melengkapinya dengan disclaimer masih tetap menjadi acuan, saran Chima.
Yang jelas adalah, Taliban telah mengakui kekuatan media sosial, senjata yang tidak tersedia selama masa kekuasaan mereka di era 1996 - 2001, kata analis kontra-terorisme yang berbasis di Delhi, Kabir Taneja.
"Mereka telah belajar banyak tentang kekuatan komunikasi dari orang lain seperti ISIS," kata Taneja.
Taliban sudah makin mahir selama bertahun-tahun mengunggah di media sosial. Mereka sangat aktif di Twitter serta Facebook selama bertahan dan lalu bergerak maju, hingga puncaknya meraih kemenangan saat menduduki ibu kota Kabul pada pertengahan Agustus lalu.
Tapi, Taneja memperingatkan, Taliban juga bisa berusaha membatasi akses warga Afghanistan ke internet. Ia menunjuk pada rekaman pengunjuk rasa anti-Taliban di kota Jalalabad yang menjadi viral minggu ini.
"Peristiwa semacam ini dapat mendorong Taliban untuk sangat mengontrol penetrasi internet di masa mendatang," kata Taneja.
Sumber : Radio France International
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.