MANDALAY, KOMPAS.TV - Para perempuan memiliki andil besar dalam demo menentang kudeta militer Myanmar. Meski korban terus berjatuhan karena kekerasan aparat, perempuan-perempuan Myanmar ini tak gentar melawan.
Ma Kyal Sin mengadopsi nama Inggris Angel yang berarti malaikat. Ia pamit dan memeluk ayahnya sebelum bergabung dengan massa pengunjuk rasa di kota Mandalay, Myanmar bagian tengah.
Demo itu berjalan damai menentang militer yang melengserkan dan menahan Aung San Suu Kyi dan jajaran pimpinan Partai NLD, partai Su Kyi.
Baca Juga: Viral Polisi Myanmar Tembak Mati Demonstran dari Jarak Dekat, Ini Kata Utusan PBB
Kyal Sin bergabung di barisan depan pengunjuk rasa pada Rabu (3/3/2021). Gadis berumur 19 tahun itu mengenakan kaos hitam bertulis, “Everything will be OK”. Semua akan baik-baik saja.
Namun, sore itu aparat keamanan menembak Kyal Sin di kepala saat ia bertiarap badan berlindung.
Pada hari yang sama, PBB menyebut 37 warga Myanmar lain juga tewas karena kekerasan aparat, dua di antaranya pun perempuan.
“Ia (Kyal Sin) adalah pahlawan negara kami. Dengan ikut dalam revolusi ini, perempuan muda dari generasi kami menunjukkan bahwa kami tak kalah berani dari laki-laki,” kata Ma Cho Nwe Oo, salah satu teman Kyal Sin, dikutip dari New York Times.
Sebelum berangkat, Kyal Sin mengunggah status di akun media sosialnya. Dalam unggahan itu, ia mengatakan ingin menyumbangkan bagian tubuhnya, bila terluka parah dan meninggal saat demo.
Seperti Kyal Sin, para perempuan Myanmar memahami bahaya ikut dalam demo menentang junta militer ini. Namun, setiap hari ribuan perempuan terus berkumpul melakukan mogok dan demonstrasi.
Mereka berasal dari berbagai kalangan, antara lain guru dan pegawai negeri sipil, buruh garmen, tenaga kesehatan, dan etnis minoritas. Perempuan-perempuan muda sering terlihat di garis depan pengunjuk rasa.
"Kami mungkin kehilangan beberapa pahlawan dalam revolusi ini. Darah perempuan kami (warga Myanmar) merah," kata Ma Sandar, asisten sekretaris jenderal Konfederasi Serikat Buruh Myanmar, yang ikut serta dalam protes.
Hingga Rabu kemarin, korban tewas sejak kudeta militer setidaknya berjumlah 54 orang. Sedikitnya tiga anak ditembak mati selama protes sebulan terakhir.
Seorang perempuan berusia 20 tahun menjadi korban pertama kekerasan aparat pasca kudeta militer. Ia ditembak di kepala pada 9 Februari 2021.
Baca Juga: Retno Marsudi Ketemu Menlu Myanmar, Sampaikan Sikap Indonesia
Awal pekan ini, jaringan televisi militer mengumumkan bahwa pasukan keamanan tidak berwenang menggunakan peluru tajam. Untuk membela diri mereka hanya dapat menembak di bagian tubuh bagian bawah.
“Militer Myanmar harus berhenti membunuh dan memenjarakan pengunjuk rasa. Benar-benar menjijikkan bahwa pasukan keamanan menembakkan peluru tajam pada para peserta aksi damai di seluruh Myanmar," kata Michelle Bachelet, pejabat tinggi hak asasi manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kamis (4/3/2021).
Para perempuan juga bergabung dalam relawan medis. Mereka berkeliling merawat para pengunjuk rasa yang terluka dan sekarat.
Mereka memberontak pula secara simbolis. Foto Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pimpinan dewan militer Myanmar digantung bersama sarung-sarung perempuan, htamein sebagai hinaan.
Dalam sebuah pidato propaganda sebelumnya. Aung Hlaing sempat menyebut para peserta demo mengenakan pakaian yang tak pantas dan tak sesuai budaya Myanmar. Salah satu pakaian itu adalah htamein.
“Perempuan-perempuan muda saat ini memimpin protes karena kami memiliki sifat keibuan dan kami tidak dapat membiarkan generasi berikutnya dihancurkan. Kami tidak peduli dengan nyawa kami. Kami peduli dengan generasi masa depan kami," kata Dr. Yin Yin Hnoung, seorang dokter berusia 28 tahun yang ikut dalam demo di kota Mandalay.
Militer Myanmar bernama Tatmadaw terkenal karena konservatif. Mereka terlibat dalam pemerkosaan sistematis pada perempuan-perempuan Rohinghya, etnis minoritas di negara bagian Rakhine.
Militer juga menyerang desa-desa etnis minoritas lain, Karen dan Kachin. Jet-jet militer menghujani warga minoritas dengan artileri, termasuk perempuan dan anak-anak.
“Saat itulah saya berkomitmen untuk berupaya menghapus junta militer. Minoritas tahu bagaimana rasanya dan ke mana diskriminasi mengarah. Sebagai seorang perempuan, kami masih dianggap sebagai kelompok berjenis kelamin lebih rendah," kata Esther Ze, warga etnis Kachin yang ikut dalam demo.
Para pengunjuk rasa di Myanmar berasal dari berbagai kalangan yang muak dengan junta militer. Junta militer telah berkuasa sejak kudeta 1962.
Pelajar Muslim, biarawati Katolik, biksu Buddha, waria juga ikut bergabung dalam demo menentang militer Myanmar.
Baca Juga: Data Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Menurun di Masa Pandemi Covid-19, Benarkah Demikian?
“Gen Z adalah generasi yang tak kenal takut. Adik saya ikut protes setiap hari. Dia benci kediktatoran,” tegas Honey Aung, seorang pengunjuk rasa perempuan.
Adik perempuannya, Kyawt Nandar Aung, tewas terkena peluru di kepala pada Rabu (3/3/2021) di kota Monywa.
Kyal Sin telah dimakamkan. Namun, Cho Nwe Oo mengaku akan tetap mengingat keberanian sahabatnya itu.
“Dia akan berkata, 'jika kamu melihat sebuah bintang, ingatlah, itu aku.' Aku akan selalu mengingatnya dengan bangga,” kata Cho Nwe Oo.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.