INDIANA, KOMPAS.TV - Seorang napi hukuman mati akhirnya tetap dieksekusi meski tengah berjuang menghadapi Covid-19.
Napi bernama Corey Johnson itu dieksekusi dengan suntikan mematikan.
Johnson pun menjadi napi federal ke-12 yang dihukum mati era Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
Baca Juga: Tuding Perusahaan Militer Komunis, Trump Cekal Xiaomi dan Huawei
Pria berusia 52 tahun itu dinyatakan bersalah atas tujuh pembunuhan pada 1992. Pembunuhan itu diyakini berhubungan dengan jaringan penjualan obat terlarang.
Kejahatannya termasuk penembakan untuk saingannya, membunuh wanita yang tak mau mebayar kokain yang dia jual, dan menembak seorang pria yang dia duga bekerja untuk polisi.
Johnson dinyatakan meninggal pada pukul 11.34 malam, Kamis (14/1/2021), dengan suntikan mematikan pentobarbital.
Baca Juga: Kim Jong-Un Pamerkan Rudal Kapal Selam Baru saat Parade Militer Korea Utara
Dia dieksekusi di ruang pengeksekusian Departemen Kehakiman AS di Terre Heute, Indiana.
Seperti dikutip dari Daily Star, Johnson mengalami gejala Covid-19 dan didiagnosis positif bulan lalu.
Baca Juga: Terus Melonjak, Kini China Rawat Lebih Dari 1.000 Orang Karena Covid-19
Para ahli meyakini bahwa memberikan pentobarbital secara berlebihan, akan memberikan rasa sakit bagi yang tengah berusaha sembuh dari Covid-19, kara virus itu merusak paru-paru.
Pasalnya, suntikan mati adalah proses yang menyebabkan edema paru, di mana cariran masuk ke paru-paru saat orang tersebut masih sadar, dan menciptakan pengalaman menyakitkan yang mirip tenggelam atau mati lemas.
Seorang hakim federal menganggap peringatan itu kredibel, sehingga mengeluarkan penundaan eksekusi terhadap Johnson hingga Maret.
Baca Juga: Pria Bersenjata Serang Tempat Penampungan Hewan, Alasannya Mengejutkan
Tetapi Pemerintah AS mengajukan banding, dan Mahkamah Agung (MA) memutuskan agar eksekusi Johnson diteruskan.
Pada pernyataan terakhirnya, Johnson meminta maaf kepada para korban kejahatannya dengan menyebutkan nama mereka.
Namun, Pengacara Johnson mengutuk keras eksekusi itu dan menyebutnya sebagai pelanggaran berat terhadap Konstitusi dan Hukum Federal.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.