Vita mengaku bahwa dia tidak menargetkan bekerja di perusahaan tersebut sejak awal.
“Ini bukan sesuatu yang sejak awal saya targetkan, tapi tentunya sangat keren menjadi bagian dari (perusahaan -red) ini,” kata Vita pada akhir Maret lalu.
Menurutnya, kepercayaan diri menjadi kunci setiap kali ia mengambil keputusan. Vita menjelaskan bahwa rasa percaya diri yang tinggi perlu mengiringi kegigihan.
Vita berkisah, sebagian kegigihannya sebagai seorang insinyur juga terdorong dari tantangan untuk meyakinkan dan membuktikan bahwa perempuan juga setara dengan laki-laki di dalam profesi yang ia tekuni.
Isu kesetaraan gender masih kental di dalam industri sains, teknologi, teknik, dan matematika, yang masih didominasi pria.
“Kepercayaan diri tidak muncul seketika. Yang utama dan penting, Anda harus mengkalibrasi diri lagi dan lagi seiring waktu untuk memastikan Anda percaya diri dan paham betul akan cakupan (tanggung jawab Anda) dan dengan siapa Anda berinteraksi,” ungkap Vita.
Terlepas dari tantangan itu, Vita menyadari, lingkup kerjanya saat ini sudah semakin memperhatikan kesetaraan gender. Ia melihat kesempatan bagi rekayasawan perempuan semakin terbuka lebar.
Senada, rekayasawan perempuan yang menjadi pengajar di University of Maryland, AS, Diandra Soemardi, mengatakan perempuan kadang meragukan diri sendiri.
“Kadang sama kolega kita yang laki-laki kita merasa kalau kita kurang didengarkan, kita merasa enggak dihargai, atau orang enggak percaya sama apa yang kita katakan, orang merasa kita enggak punya ilmu yang kuat,” tuturnya.
Menurutnya, rekayasawan perempuan harus yakin pada kemampuan mereka, karena pada dasarnya, baik laki-laki maupun perempuan, dapat mempelajari dan menguasai keahlian analisis serta berpikir logis dan sistematis.
“Terus aja belajar, terus bertanya, jangan takut salah, jangan takut gagal, karena kegagalan, kesalahan dan ketidaktahuan itu samat sangat normal,” pesan Diandra.
Sahabat Vita, Yufi Priadi, memetik pelajaran penting dari nilai-nilai yang dianut Vita, yakni mengenai pola pikir kritis dan rasa tidak mudah puas.
“Bahkan di titip pencapaian dan titik zona nyaman, dia selalu bertanya, ‘cukupkah ini? etiskah ini? apakah ini bertolak belakang dengan keyakinan saya?’ Dan pertanyaan-pertanyaan yang kritis itu yang mengantarkan dia ke keputusan yang selalu lebih baik,” kata Yufi.
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.