JAKARTA, KOMPAS.TV – Sejumlah pohon menjulang di kawasan Perkebunan Sukamaju milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII di Desa Cipetir, Kecamatan Cikidang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Sekilas pepohonan yang tumbuh di area seluas 333 hektare itu sama seperti pepohonan lain, tumbuh dengan sendirinya dan menjulang semaunya. Tak banyak yang tahu bahwa daun pepohonan itu bernilai rupiah yang cukup tinggi. Pohon itu bernama Gutta Percha. Daunnya bisa dijual seharga Rp3,5 juta per kilogram.
Dulu, pada tahun 1885, Gutta Percha yang memiliki nama latin Palquium Gutta ini sengaja dibudidayakan di Perkebunan Cipetir, yang kini bernama Perkebunan Sukamaju milik PTPN VIII.
Awalnya dilakukan penyadapan untuk mendapatkan getah pohon itu, namun belakangan diketahui bahwa daunnya juga bisa menghasilkan getah.
Gutta berasal dari kata getah, sedangkan Perca merupakan nama lain Pulau Sumatera pada zaman dahulu.
Pembudidayaan pohon tersebut bukan tanpa alasan. Mengutip tulisan berjudul "The Gutta Percha Company" karya Bill Burns di laman atlantic-cable.com, seorang dokter bedah di Inggris meneliti tanaman ini.
Penelitian tersebut mengungkapkan manfaat Gutta Percha, bahwa getah dari pohon itu bisa dijadikan sebagai bahan baku termoplastik alami untuk beragam kebutuhan. Sejak itulah pamor Gutta Percha meningkat.
Getah Gutta Percha terbilang unik. Teksturnya akan melumer seperti karet saat dipanaskan, kemudian akan mengeras seperti plastik kokoh saat didinginkan di suhu ruang.
Gutta Percha pun dimanfaatkan dalam pembuatan beragam produk, seperti gips atau gigi palsu untuk dunia kedokteran, perabotan rumah tangga, dan pelapis kabel bawah laut di era teknologi telegraf ditemukan.
Manfaat getah pohon yang banyak tersebar di hutan pulau Indonesia, Singapura, dan Malaysia pada tahun 1850-an ini membuat banyak pihak tergiur dan mengeksploitasi.
Pohon-pohon itu ditebang, diambil kayunya, kemudian dikirim ke Inggris. Sebanyak 1.500 ton Gutta Percha tercatat dikirm ke Inggris pada tahun 1851 untuk keperluan industri.
Eksploitasi besar-besaran tersebut menyebabkan pohon Gutta Percha termasuk salah satu pohon langka dan hampir punah.
Pada akhir abad 19, sebanyak 16 juta kilogram Gutta Percha digunakan sebagai pelapis insulasi kabel telegraf bawah laut yang membentang menghubungkan hampir seluruh dunia. Hal itu diketahui dari jurnal berjudul "A Victorian Ecological Disaster: Imperialism, the Telegraph, and Gutta Percha" karya John Tully dari University of Hawaii Press.
Penggunaan Gutta Percha meningkat drastis pada awal abad 20. Sebanyak 88 juta kilogram Gutta Percha digunakan sebagai pelapis kabel bawah laut yang membentang sepanjang 200 ribu mil ke seluruh dunia.
Baca Juga: Hijaukan Kampus, Tanam Pohon Buah
Baca Juga: Pria Ini Hasilkan Rp 4 Miliar Per Tahun dari Bisnis Daun Kelor
Permintaan pasar yang tinggi membuat pemerintah kolonial Belanda mendirikan perkebunan Gutta Percha di Sukabumi, Jawa Barat. Mereka juga membangun pabrik pengolahannya pada tahun 1885.
Namun, pada tahun 1921 pabrik itu berhenti beroperasi akibat memudarnya pamor Gutta Percha. Saat itu ditemukan material sintetis plastik yang memiliki senyawa mirip dengan Gutta Percha, dengan harga yang jauh lebih murah.
Asisten Kepala Wakil Manajer PTPN VIII Unit Perkebunan Sukamaju Dadan Ramdan, mengatakan pihaknya terus membudidaya pohon Gutta Percha di lahan konservasi yang sudah disediakan.
"Dari 21.252 hektare lahan yang dimiliki PT PN VIII, 333 hektare lahan di antaranya sengaja kami tanami Pohon Gutta Percha. Selain untuk menjaga ekosistem alam, ini juga sebagai upaya kami melestarikan sejarah," kata Dadan.
Pesanan dari Mancanegara
Tidak jauh dari pepohonan Gutta Percha itu, terdapat bangunan tua berdinding seng. Bangunan itu adalah pabrik pengolahan daun Gutta Percha yang dikelola oleh PTPN VIII. Saat ini pabrik itu masih berproduksi mengolah daun pohon Gutta Percha menjadi getah karet keras berbentuk lempengan bundar bertuliskan "Tjipetir".
Meski demikian, Pabrik Cipetir hanya beroperasi beberapa kali dalam setahun. Hal itu untuk memenuhi permintaan getah Gutta Percha dari sejumlah negara, di antaranya Korea Selatan, Jepang, dan Jerman.
Mandor Besar atau Pengawas Pengelolaan Pabrik Gutta Percha Cipetir Budi Prayudi, mengatakan, permintaan getah Gutta Percha tidak terlalu banyak. Biasanya hanya sekali dalam dua tahun.
"Jepang, Korea, dan Jerman biasanya memesan 200 kilogram Gutta Percha satu atau dua tahun sekali. Digunakan untuk keperluan medis," kata dia.
Saat ini, proses pengolahan getah Gutta Percha tidak jauh berbeda dengan proses yang dilakukan pada tahun 1800an. Bahkan cara dan alatnya pun masih sama.
Daun-daun Gutta Percha digiling menggunakan batu bundar berukuran raksasa, yang konon didatangkan langsung dari Italia. Pabrik Cipetir memiliki lima batu penggiling, tetapi saat ini hanya satu yang dioperasikan.
Setelah daun halus seusai digiling, kemudian direbus dan diekstraksi menjadi getah. Getah itulah yang nantinya dipanaskan hingga berbentuk cairan kental. Getah panas bisa dibentuk sesuai keinginan, dan mengeras saat sudah dingin. Untuk menghasilkan 13 kilogram produk jadi, dibutuhkan satu ton daun Gutta Percha.
Sumber : Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.