JAKARTA, KOMPAS.TV - Apakah Anda—generasi X atau baby boomer—pernah merasa tidak cocok bekerja dengan kolega yang lebih muda seperti milenial (generasi Y) dan generasi Z? Ketidakcocokan tersebut dapat berupa perbedaan perspektif soal pekerjaan itu sendiri, opini dalam diskusi, hingga kultur kerja.
Menurut Beresfod Research, generasi milenial atau gen Y ialah masyarakat kelahiran 1981-1996 dan berusia antara 25 sampai dengan 40 tahun di tahun ini.
Mengutip data dari Sensus Penduduk yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, generasi milenial menempati jumlah penduduk paling banyak kedua setelah generasi Z, dengan jumlah penduduk sebanyak 69,38 juta jiwa (25,87 persen dari total penduduk).
Beragam studi menyoroti ketidakcocokan antara generasi milenial dan generasi yang lebih tua dalam lingkungan kerja.
Berdasarkan penelitian dari Olivet Nazarene University, 1 dari 4 milenial memilih untuk keluar dari pekerjaannya akibat permasalahan dengan kolega yang lebih tua (boomer, kelahiran tahun 1946-1964).
Sebaliknya, 1 dari 3 boomer pun memilih keputusan yang sama akibat ketidakcocokan dengan kolega milenial.
Riset ini turut mengungkap hal-hal yang paling tidak disukai milenial dari seorang boomer. Ialah kepribadian yang “merasa serba tahu” (52 persen), kecenderungan untuk mendapatkan perlakukan khusus (47 persen), ego (34 persen), mengambil kredit atas pekerjaan orang lain (17 persen), dan kemalasan (16 persen).
Sebaliknya, boomer menilai kesulitan untuk bekerja dengan milenial adalah karena penggunaan ponsel (48 persen), kecenderungan untuk mendapatkan perlakukan khusus (41 persen), kemalasan (35 persen), datang ke kantor terlambat dan pulang cepat (30 persen), dan kepribadian yang “merasa serba tahu” (29 persen).
Di samping ini, para boomer memiliki kekhawatiran bahwa kolega milenial akan mengambil pekerjaannya sewaktu-waktu akibat kecakapan mereka untuk beradaptasi, kemampuan yang baik dalam mengoperasikan teknologi, ambisi yang kuat, dan lain-lain.
Perspektif soal Tujuan Bekerja
Ketidakcocokan antara milenial dan generasi sebelumnya juga bisa dilandasi oleh perbedaan perspektif soal tujuan bekerja.
Motivator nasional di bidang kepemimpinan dan kebahagiaan, Arvan Pradiansyah, mengungkap bahwa generasi yang lebih tua cenderung memiliki prinsip “hidup untuk bekerja (live to work)”, berbeda dengan milenial yang berpola pikir “bekerja untuk hidup (work to live)”.
“Mereka (generasi X dan boomer) hidup itu untuk bekerja. Jadi ketika mereka mendapatkan pekerjaan itu, mereka betul-betul melihat kehidupan itu sendiri ada dalam pekerjaan itu, karena itu mereka rela bekerja keras, banting tulang, hidup prihatin, mengurangi kenyamanan,” ucap Arvan, seperti dikutip dari episode ke-37 serial Smart Happiness pada podcast Smart Inspiration.
Sedangkan bagi generasi milenial, menurut Arvan, “Mereka bekerja itu ya untuk membiayai kehidupan mereka, gitu, sehingga mereka tidak melihat pekerjaan itu sebagai sesuatu yang harus dilakukan dengan susah-susah."
Milenial dipercaya sebagai generasi yang menyukai kecepatan dan kemudahan karena lahir dan tumbuh di masa ketika teknologi sudah berkembang lebih pesat. Generasi ini pun sering dianggap kurang menghayati proses alias berorientasi pada hasil.
Kultur Kerja
Tak bisa dipungkiri, bagaimana generasi muda hidup di masanya dengan situasi ekonomi, biaya perawatan kesehatan dan pendidikan yang kian meningkat, berefek pada perspektif mereka terkait pekerjaan.
Apa yang mereka harapkan ialah ganjaran finansial yang memuaskan, promosi karier yang menjanjikan, dan keseimbangan antara pekerjaan dengan kehidupan yang mereka jalani (work-life balance).
Hal ini seperti dikutip dari studi oleh Randstad bersama Future Workplace pada tahun 2016.
Milenial pun memiliki preferensi tersendiri terkait kultur bekerja. Masih mengutip hasil penelitian yang sama, milenial beranggapan bahwa komunikasi adalah faktor terpenting dari kualitas seorang pemimpin, didukung oleh dukungan dan kejujuran dalam memimpin.
Sejumlah 22 persen responden milenial pun menganggap bahwasanya kolaborasi dengan sesama kolega adalah faktor utama mereka untuk mencapai kualitas kerja terbaik.
Mereka pun berharap para kolega dapat bekerja sekeras usaha mereka, tidak terkecuali bagi pekerja yang berusia lebih tua.
Bagaimanapun, milenial dalam riset tersebut masih menilai bahwasanya komunikasi secara langsung adalah bentuk komunikasi paling efektif dibanding melalui surel, ponsel, maupun aplikasi berpesan instan.
Kedua pihak ini pun memiliki kesamaan dalam motivasinya dalam melakukan pekerjaan, yakni aspek finansial.
Dalam aspek format hari bekerja, kedua pihak memiliki kesamaan opini dominan yakni memilih bekerja dalam 4 hari dalam seminggu (24 persen dan 26 persen), juga menyetujui bekerja secara jarak jauh atau remote work (17 persen dan 19 persen).
Keduanya pun sama-sama memilih jangka waktu kerja pukul 9 pagi hingga 5 sore (30 persen).
Hal ini mengindikasikan bahwa sejatinya masih ada kesamaan substansi dan nilai dan yang dianut seputar kultur kerja antara milenial dan generasi sebelumnya, hanya kadang berbeda pada gaya dan cara mengeksekusikannya.
Lantas, apakah sebenarnya ketidakcocokan antara milenial dan generasi yang lebih tua nyata adanya atau hanya berdasarkan pada stereotipe?
Apakah perbedaan-perbedaan ini dapat diakali melalui kolaborasi yang baik antara milenial dan generasi yang lebih tua? Kemampuan memimpin seperti apakah yang perlu dikuasai untuk melakukannya?
Dapatkan ilmu menarik mengenai topik ini selengkapnya di podcast Smart Inspiration. Podcast Smart Inspiration tayang setiap hari Selasa, Rabu, dan Kamis di Spotify. Akses melalui https://bit.ly/SmartInspirationPodcast atau klik ikon di bawah untuk mulai mendengarkan!
Penulis: Intania Ayumirza & Miletresia
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.