Ia memprediksi, rupiah akan bergerak pada kisaran Rp15.850 per dollar AS sampai dengan Rp16.250 per dollar AS pada perdagangan Rabu (17/4).
Bank Indonesia telah melakukan sejumlah langkah penting untuk menjaga kestabilan rupiah di tengah memanasnya konflik di Timur Tengah dan dinamika perkembangan perekonomian AS.
Salah satu langkah yang dilakukan yaitu menjaga keseimbangan supply-demand valuta asing (valas) di pasar (market) melalui triple intervention, khususnya di spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF).
BI juga meningkatkan daya tarik aset rupiah untuk mendorong aliran modal masuk asing (capital inflow).
Seperti melalui daya tarik Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan hedging cost. Selain itu, BI akan melakukan koordinasi dan komunikasi dengan pemangku kepentingan terkait, seperti pemerintah, Pertamina, dan lainnya.
Baca Juga: Nilai Barang Kiriman PMI dari Luar Negeri Bebas Pajak & Bea Masuk Maksimal 1.500 Dollar AS per Tahun
Namun, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menilai, intervensi yang dilakukan Bank Indonesia (BI) untuk menstabilkan nilai tukar rupiah harus diimbangi dengan kondisi politik yang stabil di dalam negeri.
"Kita memahami bahwa BI itu tidak punya cadangan yang besar untuk intervensi, sehingga yang perlu diperhatikan tentu kita harus melihat bagaimana nanti intervensi BI yang dilakukan itu harus diikuti dengan gejolak politik yang baik di dalam negeri," tutur Abdul seperti dikutip dari Antara, Selasa (16/4/2024).
Ia mengingatkan jangan sampai tren pelemahan nilai tukar rupiah saat ini diperparah dengan gejolak politik yang merugikan, sehingga dapat menyebabkan rupiah berpotensi merosot ke level yang lebih rendah.
Abdul mengungkap bahwa rupiah pada saat ini semakin menjauhi asumsi APBN. Dalam asumsi dasar ekonomi makro pada APBN 2024, pemerintah mematok nilai tukar rupiah sebesar Rp15.000 per dolar AS.
Kondisi tersebut akan merugikan bisnis mengingat para pelaku ekonomi menjadikan asumsi APBN sebagai rujukan untuk merencanakan bisnisnya.
"Kalau itu semakin melemah, maka akan merugikan bisnis, khususnya bisnis yang terkait dengan lalu lintas negara, terutama impor bahan baku atau bahan modal yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat lewat peningkatan harga dalam negeri," ujarnya.
Sumber : Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.