JAKARTA, KOMPAS.TV- Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani mengatakan, idealnya pajak hiburan untuk karaoke, club hingga spa berada di angka 10 persen. Sama seperti pajak hotel dan restoran.
Namun dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), pajak hiburan untuk usaha seperti di atas angkanya 40 persen sampai 75 persen.
"Jasa hiburan seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa dikenakan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atau PBJT paling rendah 4O persen dan paling tinggi 75 persen," demikian tertulis dalam salinan Pasal 58 ayat 2 UU HKPD.
Shinta menyebut, besaran pajak itu terlalu tinggi hingga akan sangat berdampak pada bisnis hiburan yang menjadi bagian dari industri pariwisata.
Baca Juga: Diprotes Inul dan Pengusaha Lainnya soal Pajak Hiburan Naik, Ini Jawaban Sandiaga Uno
"Nilai pajak hiburan idealnya maksimal 10 persen, seperti halnya pajak hotel dan restoran. Mesti diingat juga bahwa bisnis hiburan itu adalah labour insentif,” kata Shinta seperti dikutip dari Kontan, Minggu (14/1/2024).
PBJT adalah pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu. Sehingga dengan kenaikan hingga 75 persen, uang yang harus dibayarkan konsumen akan meningkat pula.
Meskipun penyedia jasa hiburan tidak menaikkan harga layanannya, pada akhirnya konsumen akan merasa jasa hiburan yang mereka nikmati terlalu mahal.
“Harga jualnya (produk atau jasa) tidak akan meningkat, namun nilai yang harus dibayar oleh konsumen akan meningkat,” ujarnya.
Baca Juga: Cara Transfer dan Terima Dana Tanpa Rekening Pakai QRIS di Aplikasi BRImo
“Jika pajaknya meningkat, tentu menjadi tidak kompetitif. Di sisi lain Thailand justru menurunkan pajaknya untuk mengejar target pertumbuhan pariwisata,” tambahnya.
Shinta menilai saat merumuskan besaran kenaikan pajak hiburan, pemerintah tidak menyerap aspirasi para pengusaha bisnis tersebut. Faktanya, saat ini banyak protes terhadap kebijakan itu.
Ia juga menilai pemerintah tidak mempertimbangkan kemampuan masyarakat dalam penerapannya.
Apalagi jika pelaku usaha hiburan tidak menerapkan pajak sesuai ketentuan, pemerintah memiliki kewenangan penuh dalam memberikan izin dan mencabut izin berusaha jika terjadi pelanggaran.
“Untuk itu, tidak tepat jika dengan alasan bisnis hiburan yang dianggap rentan berbagai risiko kemudian dinaikkan pajaknya,” ucapnya.
Baca Juga: YouTube Sengaja Bikin Lemot Akses Video Pengguna Reguler yang Pasang Ads Blocker
Dalam Pasal 50 UU HKPD sebenarnya disebutkan jika PBJT dikenakan terhadap barang dan jasa:
a. Makanan dan/ atau Minuman;
b. Tenaga Listrik;
c. Jasa Perhotelan;
d. Jasa Parkir; dan
e. Jasa Kesenian dan Hiburan.
Kemudian dalam Pasal 55 disebutkan:
(Ayat 1) Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 hunrf e (Jasa Kesenian dan Hiburan) meliputi:
a. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
b. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes kecantikan;
d. kontes binaraga;
e. pameran;
f. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
g. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
h. permainan ketangkasan;
i. olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
Baca Juga: Pajak Rokok Elektrik 10 Persen Mulai Berlaku, Harga Vape akan Ikutan Naik
j. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
k. panti pijat dan pijat refleksi; dan
l. diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Selanjutnya dalam Pasal 58 dikatakan bahwa Tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen. Namun khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.