JAKARTA, KOMPAS.TV- Para petani kelapa sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) meminta pemerintah untuk segera menganulir aturan-aturan dari Undang-Undang Cipta Kerja (Cipataker).
Hal ini perlu dilakukan lantaran aturan turunan tersebut dinilai rawan memunculkan terjadinya kelangkaan bahan pokok, contohnya kelangkaan minyak goreng (migor) yang terjadi pada waktu terakhir ini.
Pengamat ekonomi dan juga Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Dr Ir Gulat Manurung MP, Selasa (31/10/2023) menegaskan, kelangkaan migor merupakan dampak dari situasi dan kondisi yang memang memaksa terjadi dampak tersebut. Terlebih hal itu mudah terjadi seiiring dengan berlakunya UU Ciptaker saat ini.
Baca Juga: Jokowi Temui Presiden Kenya, Hibahkan Mesin Pompa Minyak Goreng dan 5 Ribu Liter Minyak Sawit
Menurut dia, anulir aturan turunan UU Ciptaker adalah sebuah keharusan. Untuk melakukan anulir sangat mudah bagi Kementerian dan Presiden tinggal membuat Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Pemerintah (Permen).
"Adapun pasal yang dianulir khususnya UU Cipta Kerja Omnibus Law Pasal 110A dan 110B yang membahas mengenai sawit dan kebijakan KLHK yang dinilai merugikan petani sawit," tutur dia, dalam keterangannya.
Dia tak memungkiri, kelangkaan bahan pokok salah satunya migor tersebut selain karena faktor regulasi dan kebijakan, juga disebabkan menjelang akhir tahun seperti Natal dan Tahun Baru (Nataru) serta beberapa perhelatan akbar seperti Pemilu 2024 yang diikuti terjadi lonjakan permintaan pasar.
Selain masalah permintaan naik karena ada Nataru atau Lebaran yang menyebabkan konsumsi migor tinggi, kelangkaan komoditas juga dipengaruhi faktor karena adanya kekesalan para pelaku usaha perkebunan sawit.
Kekesalan terjadi karena pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang selalu membuat peraturan yang merugikan petani sawit sebagai produsen bahan baku migor yakni CPO.
Gulat menegaskan denda yang diterapkan dalam UU Ciptaker untuk perkebunan sawit di kawasan hutan serta setelah membayar denda tak bisa melakukan replanting atau ditanami kembali membuat petani sawit tak bisa melakukan pembaharuan bahan baku secara berkesinambungan.
"Petani sawit dilarang replanting artinya pemerintah melalui KLHK melakukan pembatasan sementara kebutuhan tinggi, jelas saja stok jadi langka, lalu mau solusi apa?," jelas Gulat.
Dengan larangan replanting, imbuh Gulat, Indonesia kehilangan potensi 2,7 juta hektar lahan sawit dan kehilangan 10 juta ton CPO bahan baku minyak goreng. Potensi ini karena merupakan 20 persen dari stok bahan baku yang bisa menghasilkan 9.2 juta ton Migor.
"Masalah ini solusinya cukup sederhana KLHK tidak memaksakan diri untuk memasukkan pasal yang ada poin tidak boleh melakukan replanting. Pasal itu dibuang saja. Kalau soal denda saya sepakat asal sesuai aturan penerapannya dan tentu saja masuk akal," papar dia.
Ditambahkannya, dalam UU Ciptaker khususnya kaitan pengolahan kawasan hutan diatur bahwa lahan dengan luas 5 hektare penguasaan 5 tahun keatas dilepaskan dari kawasan hutan. Namun kebijakan yang sudah sejak 2020 hingga kini ternyata masih nol hektare lahan yang dilepaskan alias tak ada lahan yang dilepaskan sama sekali.
"Hal ini karena dari KLHK menetapkan persyaratan yang tidak masuk akal sehingga tidak ada yang berhasil melepaskan lahan tersebut. Mengapa KLHK masih saja terus memaksakan ?," tanya dia lagi.
Dalam aturan disebutkan bahwa setelah pengusaha atau petani terkena denda tidak boleh melakukan replanting sawit.
"Padahal umur produksi sawit 25 tahun, jadi kami hanya bisa panen lima tahun lagi setelah lima tahun diganti dengan tanaman baru. Dengan peraturan ini kami petani sawit disuruh tinggalkan kebunnya. Bagaimana kami bisa hidup?," tanyanya.
Baca Juga: Kasus Minyak Goreng, Airlangga Hartarto Diperiksa Kejagung Selama 12 Jam!
Gulat justru mempertanyakan apa urgensinya tidak boleh melakukan replanting. Padahal tanaman sawit CPO ini sangat ramah lingkungan. Sawit ini imbuhnya menyerap lebih tinggi karbon dioksida dan menghasilkan oksigen lebih banyak.
Ditegaskannya tahun politik seperti saat ini memang ada pengaruh pada harga dan stok Migor namun pengaruhnya sangat sedikit.
"Hati hati jika sampai masalah ini dipolitisasi supaya terjadi chaos. Ini sangat bisa terjadi," tandas dia.
Penulis: Gading Persada
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.