Lebih lanjut, Zulhas pun menyebut, taktik tersebut dinamakan predatory pricing.
"Kalau predatory pricing, itu yang kuat, dia (pedagang via online) bisa jual murah dulu. Orang (pedagang toko fisik) 'mati', nanti dia (pedagang online) naikin lagi harganya," jelasnya.
"Nah ini yang terjadi. Barang Rp 95.000, yang dijual Rp 50.000, ya enggak bisa lawan (pedagang toko fisik)" ucapnya.
Mengutip dari Kompas.com, predatory pricing (penetapan harga predator) adalah penetapan harga serendah-rendahnya oleh penjual terhadap harga produknya.
Tujuannya mematikan usaha para pedagang lain yang menjual barang sejenis.
Dalam kesempatan tersebut, Zulhas juga menegaskan, melalui Permendag Nomor 31 Tahun 2023, platform media sosial hanya boleh dimanfaatkan sebagai tempat promosi bukan untuk melakukan kegiatan jual beli.
"Sekarang kita atur, kalau dia mau menjadi social commerce, harus ada izin. Nah, social media, itu dia enggak boleh jualan. Hanya iklan saja seperti TV, TV kan iklan saja, promosi," ujar Zulhas.
Kementerian Perdagangan telah mengesahkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Permendag Nomor 31 Tahun 2023 mengatur bahwa platform sosial commerce hanya akan memfasilitasi promosi barang atau jasa dan dilarang menyediakan transaksi pembayaran.
Salah satu yang terkena kebijakan ini adalah platform TikTok Shop.
Pemerintah Pusat melarang operasional TikTok Shop dan hanya mengizinkan TikTok sebagai sosial media.
Selain itu, peraturan itu juga menetapkan harga minimum sebesar 100 dolar AS per unit untuk barang jadi asal luar negeri yang langsung dijual oleh pedagang (merchant) ke Indonesia melalui platform e-commerce lintas negara.
Baca Juga: TikTok Indonesia Buka Suara usai Pemerintah Larang Jualan, Sebut Berdampak pada Jutaan Orang
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.