JAKARTA, KOMPAS.TV- Sejak pandemi merebak tahun 2020, mudik sudah dilarang dua kali. Inilah untuk pertama kalinya kegiatan mudik secara resmi dilarang.
Larangan itu tertuang dalam Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan COVID-19 No. 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik pada Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah selama 6-17 Mei 2021.
Larangan ini diberlakukan untuk moda transportasi darat, laut dan udara. Selanjutnya, pemerintah juga telah menetapkan aturan terkait larangan pengoperasian seluruh moda transportasi darat, laut, udara, dan kereta api pada 6-17 Mei 2021.
Presiden Jokowi mengakui bahwa mudik adalah tradisi yang sulit dihilangkan.
Baca Juga: Menag Ingatkan Jaga Kesehatan Hukumnya Wajib, Sedangkan Mudik Sunah
"Saya mengerti kita semuanya pasti rindu sanak saudara di saat-saat seperti ini, apa lagi di lebaran nanti. Tapi mari kita utamakan keselamatan bersama dengan tidak mudik ke kampung halaman," kata Jokowi.
"Mari kita isi Ramadhan dengan ikhtiar memutus rantai penularan wabah demi keselamatan seluruh sanak saudara kita, dan juga diri kita sendiri dan seluruh masyarakat," tambahnya.
Padahal, mudik adalah tradisi yang sudah melekat bagi masyarakat Indonesia terutama yang bekerja di kota. Meski tak ada catatan pasti sejak kapan tradisi ini dimulai, namun diyakini sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.
Salah satu pemicunya adalah kebutuhan para tenaga kerja di kota besar seperti Jakarta dan terhubungnya jalur kereta api.
Sejarawan Perancis Dennys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya, yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama menyebutkan, dengan dibangunnya jalur kereta api maka mempercepat gerak gagasan baru dari kota ke desa yang menggoyahkan mentalitas lama kaum petani.
Ditambah lagi, sejak tahun 1940-an, setelah perang dunia II, telah dibangun jaringan udara yang berpusatkan di Jawa.
Baca Juga: Surat Edaran Manaker Larang Mudik bagi Pekerja Migran, Kecuali Darurat
"Dengan terus-menerus mendorong lebih lanjut proses yang dipicu oleh Jalan Raya Daendels itu, jalan kereta api mempercepat pembukaan hutan (karena kebutuhan akan bantalan rel), memudahkan percampuran dan memungkinkan gerak gagasan-gagasan baru dari kota ke desa yang menggoyahkan mentalitas lama kaum tani," kata Lombard.
Namun, mudik mengalami peningkatan yang deras pada sekitar tahun 60-70an ketika Ali Sadikin menjabat gubernur DKI Jakarta.
Kata mudik sendiri terambil dari kata "udik" dalam kosa kata Bahasa Betawi yang artinya
kampung. Sehingga mudik bermakna pulang ke kampung halaman.
Mudik pun kemudian menjadi rutinitas tahunan. Siapapun presidennya, setiap tahun pemerintah akan turun tangan mengatur mudik.
Salah satu yang membuat mudik tak bisa terelakan karena di dalamnya ada tradisi silaturahmi atau sungkeman kepada orang yang dituakan.
Andre Moller, penulis buku Ramadan di Jawa (penerbit Nalar) menyebut cara paling halus untuk permintaan maaf ialah sungkeman.
"Permintaan maaf di hari Lebaran ini merupakan kegiatan yang sangat emosional. Tidak jarang orang menangis tersedu-sedu, dan ini cukup mengagetkan jika dipikirkan bahwa orang Jawa pada umumnya tidak memperlihatkan perasaan apa saja yang dianggap keterlaluan di depan orang lain," tulis Andre yang khusus meneliti tradisi puasa di Jawa itu.
Baca Juga: Antisipasi Warga Mudik Lebih Awal, Ridwan Kamil akan Sekat Sejumlah Wilayah
Bahkan, kata Andre tradisi sungkeman dan silaturahmi ini tidak terbatas pada anggota keluarga saja tapi juga lingkungan sekitar. "Semua orang ikut berpartisipasi dalam silaturahmi ini, dan perselisihan pendapat yang pernah terjadi dilupakan (setidaknya untuk sementara)," tambah Andre.
Kue-kue kecil dihidangkan di setiap rumah dan suasananya sangat ramai.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.