Namun, jika menggunakan standar Angka Kecukupan Gizi Indonesia (AKG) 2014, jumlah warga Indonesia yang tidak mampu membeli pangan bergizi pun tidak sebesar angka di atas. Lantaran standar gizi yang digunakan pada AKG lebih rendah dibanding HDB.
Laporan Harian Kompas menyebut, jika mengacu standar gizi AKG 2014, persentase penduduk yang tidak mampu membeli pangan sehat adalah sebesar 57 persen populasi Indonesia atau 155 juta penduduk. Jumlah itu turun dari 68 persen di versi HDB.
Banyaknya orang Indonesia yang tidak mampu membeli makanan bergizi, ternyata disebabkan tingginya harga bahan pangan. Bahkan, harga pangan di Indonesia paling mahal di Asia Tenggara, jika dibanding daya beli masyarakatnya.
Misalnya, harga makanan di Singapura tentu jauh lebih mahal dibanding di Indonesia. Namun masyarakat Singapura mampu membelinya.
Hal itu tercantum dalam laporan Badan Pangan Dunia atau FAO.
Baca Juga: YLKI Sebut Penjualan Rokok Ketengan Perlu Dilarang Imbas Cukai Rokok Naik 10 Persen
"Dengan memperhitungkan faktor paritas daya beli (purchasing power parity/PPP), harga pangan bergizi di Indonesia mencapai angka 4,47 dollar AS sekitar Rp 69.000 perhari. Ini lebih tinggi ketimbang antara lain: Thailand (4,3 dollar AS); Filipina (4,1 dollar AS); Vietnam (4 dollar AS) dan Malaysia (3,5 dollar AS)," tulis Harian Kompas dalam laporannya.
Harga makanan jadi lebih mahal lagi untuk masyarakat yang ada di wilayah Indonesia bagian timur. Dengan membandingkan harga komoditas pangan yang dicatat BPS tahun 2021, biaya tertinggi ditemukan di Maluku Utara yang mencapai Rp 26.050 per hari atau Rp 3.924 lebih tinggi ketimbang rata-rata nasional sebesar Rp 22.126.
Kemudian, dengan mengombinasikan data pengeluaran penduduk dari BPS, ada 80 persen jumlah penduduk Maluku Utara yang tidak mampu membeli pangan bergizi. Angka itu merupakan yang tertinggi kedua di seluruh Indonesia.
Di mana posisi pertama adalah Nusa Tenggara Timur, dengan 86 persen atau 4,8 dari 5,5 juta penduduknya tak mampu beli makanan bergizi. Biaya pangan bergizi di NTT juga di atas rata-rata nasional, dengan angka Rp 23.126 per hari, karena mahalnya harga makanan.
Menurut Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Ayip Said Abdullah, disparitas harga yang besar antara Jawa dan luar Jawa diakibatkan karena sistem distribusi rantai pasok yang belum mapan.
Baca Juga: Siap-siap! Tiket KRL Commuter Line Akan Naik Tahun Depan
Rantai pasok yang tertata dengan baik akan dapat mengurangi dampak produksi pangan Indonesia yang tidak merata di seluruh wilayah dan mengakibatkan harga berfluktuasi. Akses masyarakat terhadap komoditas pangan tertentu pun menjadi tidak terbatas.
"Apakah kita punya peta jalan rantai pasok pangan nasional? Tanpa itu, kami agak menyangsikan kondisi ini bakal berubah," kata Said.
Sumber : Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.