BANGKA BARAT, KOMPAS.TV- Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, pemerintah masih menghitung dampak larangan ekspor timah dan hilirisasinya. Termasuk soal kesiapan smelter dalam negeri.
“Baru dihitung. Nanti kalau sudah hitungannya matang ketemu kalkulasinya akan saya umumkan. Setop, misalnya tahun depan, atau setop tahun ini, bisa terjadi. Tapi saya kira kesiapan-kesiapan dari smelter, baik milik BUMN maupun milik swasta harus kita kalkulasi semuanya,” kata Jokowi kepada wartawan, saat meninjau pembangunan Top Submerged Lance (TSL) Ausmelt PT Timah Tbk, di Kabupaten Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung, Kamis (20/10/2022).
TSL Ausmelt adalah smelter baru milik PT Timah. Jokowi mengatakan, pembangunan fasilitas itu menunjukkan keseriusan dalam melakukan hilirisasi timah.
Ia berharap, hilirisasi timah berjalan seperti yang sebelumnya telah dilakukan terhadap nikel.
Baca Juga: Dirjen Minerba soal Larangan Ekspor Timah: Jangan Sampai Bisa Buat, tapi Tak Bisa Jual
“Ini nanti akan selesai November, dan kita harapkan pergerakan hilirisasi di timah akan segera mengikuti seperti yang kita lakukan di nikel,” ujar Presiden dikutip dari laman resmi Sekretariat Kabinet.
“Yang nikel sudah, timah, bauksit, jadi semuanya akan saya ikuti,” imbuhnya.
Kepala Negara mengharapkan proses hilirisasi timah ini dapat berjalan dengan baik serta memberikan nilai tambah untuk industri dalam negeri dan membuka lapangan pekerjaan.
“Nilai tambah di dalam negeri akan semakin banyak dan membuka lapangan pekerjaan yang sebesar-besarnya,” sebut dia.
Pemerintah berencana melarang ekspor timah mentah, untuk meningkatkan hilirisasi produk timah di dalam negeri. Namun rencana itu menuai perdebatan, lantaran indistri dalam negeri dinilai belum siap menyerap produk jadi timah.
Baca Juga: Apa Kabar Hilirisasi Nikel Indonesia? Dilirik Elon Musk dan Sekarang Digugat Uni Eropa di WTO
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin dalam Indonesia mengungkapkan, serapan hilirisasi balok timah (tin ingot) masih sangat rendah, yakni sebesar 5 persen.
"Dari sekian banyak produk, hanya kurang lebih 5 persen yang lebih hilir dari tin ingot yang dikelola di dalam negeri. Ini PR paling besar ketika pelarangan ekspor tin ingot terjadi," kata Ridwan seperti dikutip Antara, Rabu (19/10/2022).
Ridwan menyatakan, pemerintah juga memikirkan semua aspek sebelum nantinya resmi melarang ekspor timah. Dari data yang ada, memang belum banyak industri hilir yang bisa menyerap tin ingot hasil hilirisasi. Di sisi lain, industri hilir seperti otomotif dan elektronik yang sudah ada pun memiliki jaringan rantai pasok sendiri.
"Ketika hilirisasi ini nanti jadi kewajiban, bagaimana kita menyiapkan diri, misalnya, jangan sampai kita bisa buat tapi tidak bisa jual," ujar Ridwan.
Baca Juga: PLN Tawarkan Franchise Stasiun Pengisian dan Penukaran Baterai Kendaraan Listrik, Mulai Rp342 Juta
Ridwan menjelaskan, pemerintah tengah menyiapkan data kondisi saat ini dan waktu yang diperlukan untuk menciptakan ekosistem hilirisasi di dalam negeri.
Pemerintah juga telah mengundang ahli pembangunan hingga asosiasi profesi untuk mengkaji kebutuhan investasi, lokasi dan durasi pembangunan, hingga investor potensial terkait pembangunan smelter dan industri hilir tin ingot.
Ridwan mengungkapkan, meski tin ingot sudah cukup hilir, smelter PT Timah yang mengolah bijih timah telah berusia sekitar 50 tahun sehingga perlu dilakukan upaya transformasi lebih lanjut.
"Setahu saya, smelter PT Timah itu dibangun tahun 1971, artinya 50 tahun lalu, pantas-pantas saja kalau pimpinan pemerintah mengatakan masak 50 tahun gitu-gitu saja? Harus ada langkah maju yang dilakukan," tuturnya.
Baca Juga: Jokowi Ingin Pemda Ikut Atasi Inflasi: Saya Cek Satu Persatu dan Saya Umumkan
Ridwan juga mengatakan pelarangan ekspor dilakukan sebagai wujud UU Nomor 4 Tahun 2009 dan UU Nomor 3 Tahun 2020 yang mengamanatkan hilirisasi.
Ridwan pun mengimbau pelaku usaha di industri timah bisa memberikan masukan konstruktif kepada pemerintah. Ia juga meminta pengusaha menyiapkan diri, termasuk berkonsorsium membangun industri yang lebih hilir.
"Kita juga perlu mempertimbangkan dampak penyerapan tenaga kerja. Kita perlu lapangan kerja yang banyak. Arahan ini untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat," ucap Penjabat Gubernur Bangka Belitung itu.
"Kemudian, yang menurut kami paling tidak saat ini, adalah penetrasi pasar. Timah kita sudah (diekspor) ke 26 negara. Kalau kita ekspor ingot-nya, apa yang mereka lakukan dengan ingot kita? Bisakah nanti ketika kita sudah produksi tin solder, tin chemicals, siapa yang mau beli produk kita. Bapak ibu pelaku industri ini bantu pemerintah supaya jangan sampai kita bisa buat, tidak bisa jual," lanjutnya.
Baca Juga: Jokowi Mengajak Bersyukur Ekonomi RI Tumbuh Saat Puluhan Negara Jadi Pasien IMF
Sejauh ini, kegiatan ekspor timah yang dilakukan oleh Indonesia merupakan logam timah dengan jenis kandungan timah Ingot Sn 99,99 atau 99,99 persen.
Ridwan mengatakan, pemerintah akan berhati-hati sebelum menerapkan larangan ekspor timah.
Apalagi, ketergantungan masyarakat terhadap industri hulu timah terhitung tinggi, khususnya di Provinsi Bangka Belitung sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia.
Pada Januari-Maret 2022, Tiongkok menyerap 33,53 persen (US$202,89 juta) timah dari Bangka Beitung.
Sumber : KompasTV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.