Kompas TV bisnis ekonomi dan bisnis

Generasi Sandwich Bisa Hambat Target Indonesia Emas di 2045, Apa Sebabnya?

Kompas.tv - 14 September 2022, 08:06 WIB
generasi-sandwich-bisa-hambat-target-indonesia-emas-di-2045-apa-sebabnya
Sandwich atau roti lapis menjadi ilustrasi generasi sandwich, yang terhimpit karena harus menanggung beban hidup anak, orangtua, dan anggota keluarga lainnya. (Sumber: Eat Collective/Unsplash)
Penulis : Dina Karina | Editor : Desy Afrianti

JAKARTA, KOMPAS.TV - Indonesia akan mendapat bonus demografi dalam 10 hingga 20 tahun ke depan. Puncaknya adalah pada 2045, d imana pemerintah menyebutnya sebagai periode "Indonesia Emas".

Namun semua keuntungan yang bisa didapat dari bonus demografi, terancam tidak optimal karena adanya fenomena sandwich generation atau generasi sandwich. Yakni kondisi di mana penduduk usia produktif harus menanggung hidup anak, orangtua, dan bahkan anggota keluarga lainnya.

"Di satu sisi, mereka ada pada kelompok usia produktif, tetapi di sisi lain mereka dapat terhambat menjadi produktif karena beban yang harus ditanggung," kata Dosen Politeknik Statistika Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Margaretha Ari Anggorowati, dikutip dari Harian Kompas, Selasa (13/9/2022).

Seperti yang terlihat dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas. Di mana kelompok terbesar generasi sandwich ada pada kelompok ekonomi menengah bawah.

Baca Juga: Tips Atur Pengeluaran bagi Generasi Sandwich yang Rentan Terpaan Masalah Keuangan

Menurut Margaretha, terdapat beberapa indikator demografi yang dapat digunakan untuk mendekati gambaran generasi sandwich di Indonesia. Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, jumlah penduduk berusia 20-54 tahun yang merepresentasikan generasi sandwich ini mencapai 71.621.318 jiwa atau 26,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia.

Dilihat dari latar belakang pendidikan, berdasarkan data nasional, sebesar 10,8 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas tahun 2022 adalah tamatan perguruan tinggi. Tamatan SLTA 30,4 persen dan SMP 21,7 persen. Selebihnya, tamatan SD/tidak tamat SD.

Terkait preferensi menikah, dapat didekati dari data penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut status perkawinan sejak 2016 hingga 2018. Penduduk dengan status kawin pada 2016 sebesar 59,12 persen, kemudian meningkat menjadi 59,24 persen pada 2017, pada 2018 menjadi 59,49 persen. Dari data ini tak terlihat penurunan preferensi menikah bagi penduduk Indonesia.

Margaretha menilai, bonus demografi seharusnya bisa menjadi aset bukan justru menjadi beban.

"Jika tidak disikapi dan disiapkan dengan baik, bonus demografi dapat menimbulkan kesenjangan dan berdampak pada kemiskinan. Kondisi ini, misalnya, bisa muncul karena ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dan lapangan pekerjaan yang tersedia, jumlah pangan dan nutrisi, serta kesempatan menempuh pendidikan yang tidak merata," ujarnya.

Baca Juga: Menjadi Generasi Sandwich dalam Islam, Berkah atau Beban?

Ia menjelaskan, bonus demografi dapat dilihat dari angka rasio ketergantungan (dependency ratio). Yaitu perbandingan antara jumlah penduduk umur 0-14 tahun, ditambah jumlah penduduk 65 tahun ke atas—keduanya disebut ”bukan angkatan kerja”—dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 15-64 tahun atau angkatan kerja.

Menurut data BPS, angka rasio ketergantungan pada 2020 adalah 47,7 persen. Artinya, 100 penduduk usia produktif akan menanggung 48 penduduk usia tidak produktif. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2020, proyeksi rasio ketergantungan pada 2025 adalah sebesar 47,2 persen, kemudian turun menjadi 46,9 persen pada 2030, dan naik lagi menjadi 47,3 persen pada 2035.

"Rasio ketergantungan sampai 2035 merupakan sebuah peluang besar untuk produktivitas yang lebih tinggi dari penduduk Indonesia. Namun, peluang besar dari bonus demografi dapat terhambat oleh besarnya beban generasi sandwich. Tingkat produktivitas yang diharapkan dari bonus demografi bisa tertahan oleh berbagai masalah yang muncul dari dampak beban generasi sandwich," kata Margaretha.

Kondisi ini juga terkonfirmasi pada jajak pendapat Litbang Kompas yang menyebutkan responden tak keberatan mengurus orangtua.

Konteks kehadiran anak dan orangtua, bahkan sanak saudara, dalam sebuah keluarga masih dirasakan bukan sebagai beban, tapi justru anugerah dan kebahagiaan.

Baca Juga: Daya Listrik 450 VA akan Dihapus, YLKI: Tidak Tepat dan Tidak Adil

Margaretha menyatakan, generasi sandwich perlu ditopang. Hal ini untuk mengupayakan kualitas hidup penduduk Indonesia yang lebih tinggi.

"Memutus rantai generasi sandwich ini menjadi tanggung jawab bersama, baik individu, keluarga, masyarakat, maupun pemerintah. Individu dan keluarga membutuhkan lingkungan yang mendukung agar mampu keluar dari beban yang ada," ujarnya.

Dari sisi individu dan lingkungan keluarga, perlu dibangkitkan pemahaman bahwa beban generasi sandwich merupakan kondisi yang harus segera dituntaskan.

Perubahan pandangan dan pemahaman terhadap pola hidup, pola asuh, dan kekuatan untuk jadi kreatif dalam mencari sumber pendapatan diharapkan bisa membantu generasi sandwich keluar dari jepitan berat. Pola hidup tak konsumtif, tak terjebak tren hidup yang tak sesuai kondisi, dan mengelola kebutuhan dengan baik menjadi penting.

Baca Juga: Erick Thohir Kenang Keluarga Kecewa Pilihan Bisnisnya: Transaksinya sampai Inter Milan

Bagi pemerintah, generasi sandwich adalah salah satu titik sasaran yang harus dijangkau dalam proses pembangunan.

"Perhatian pemerintah terhadap pelayanan bagi lansia, khususnya di bidang kesehatan, sudah cukup membantu mengurangi beban bagi generasi sandwich," ucap Margaretha.

"Beban generasi sandwich juga dapat berkurang jika ada dukungan dari pemerintah pada anak-anak yang ditanggung, seperti bidang kesehatan, pendidikan. Beasiswa khusus bagi anak dari keluarga generasi sandwich dapat diprioritaskan," ujarnya.



Sumber : Harian Kompas



BERITA LAINNYA



Close Ads x