Kompas TV bisnis ekonomi dan bisnis

Setelah Bangkrut, Sri Lanka Bisa Jadi Negara Gagal, Ini Penjelasannya

Kompas.tv - 15 Juli 2022, 08:29 WIB
setelah-bangkrut-sri-lanka-bisa-jadi-negara-gagal-ini-penjelasannya
Seorang demonstran berteriak di antara penjagaan aparat bersenjata lengkap di luar kediaman pribadi presiden Sri Lanka di Kolombo, 31 Maret 2022. (Sumber: Eranga Jayawardena/Associated Press)
Penulis : Dina Karina | Editor : Edy A. Putra

JAKARTA, KOMPAS.TV- Sri Lanka telah menyatakan dirinya bangkrut karena tidak bisa membayar utang yang menumpuk. Kondisi ekonomi Sri Lanka yang kacau membuat rakyat marah dan merangsek masuk ke kediaman Presiden Sri Lanka. Aksi tersebut tidak bisa dihalangi oleh militer Sri Lanka.

Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa melarikan diri dari negaranya, kemudian mengirim surat pengunduran diri dari pelariannya di Singapura. Melihat yang terjadi di Sri Lanka, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai negara itu kini mendekati fase negara gagal atau failed state.

Pasalnya, pemerintah Sri Lanka tidak bisa mengatasi masalah ekonomi dan kini kehilangan legitimasinya.

"Sri Lanka bisa mengarah ke negara gagal karena gejolaknya bukan hanya ekonomi, tapi juga gejolak politik. Legitimasi pemerintah sudah tidak ada. Pemerintah kehilangan kendali di sektor ekonomi dan juga militernya. Rumah presidennya bisa diserbu. Pemerintah juga hilang kendali birokrasinya," kata Bhima saat diwawancara Kompas TV, Jumat (15/7/2022).


Baca Juga: Simak Tips Keuangan Aman Saat Resesi Ekonomi

Ia menjelaskan, suatu negara yang bangkrut memang bisa menjadi negara gagal. Negara bangkrut adalah negara yang tidak bisa membayar pinjaman atau kewajiban bunga pinjaman kepada krediturnya. Serta tidak ada negara atau kreditur yang mau memberikan pinjaman lagi.

Sedangkan negara gagal, kata dia, adalah negara yang kehilangan legitimasi.

"Otoritas dianggap tidak punya legitimasi. Tidak bisa menjaga perbatasan, kedaulatan negara. Negara gagal adalah terusan dari negara bangkrut yang bisa jadi negara gagal," ujar Bhima.

Memang tidak semua negara bangkrut akan menjadi negara gagal. Karena ada sejumlah negara yang sudah bangkrut berkali-kali, namun tidak berakhir menjadi negara gagal. Contohnya adalah Yunani.

Baca Juga: RI Masuk Daftar Negara Terancam Resesi Bareng Sri Lanka, Sri Mulyani Bilang Begini

Menurut Bhima, negara bangkrut yang tidak menjadi negara gagal karena mereka bisa minta bantuan dana talangan dari pihak lain, misalnya Dana Moneter Internasional atau IMF.

Biasanya, negara gagal karena masalah internal seperti kondisi ekonomi, konflik horizontal atau perang saudara. Seperti Somalia dan Afghanistan.

Namun saat ini, banyak negara terancam jadi negara gagal karena faktor global yaitu pandemi Covid-19 dan dampak krisis Rusia-Ukraina.

Seperti yang dinyatakan oleh Presiden Joko Widodo saat memberi sambutan dalam acara HUT 50 Tahun HIPMI di JCC, Jakarta, Jumat, 10 Juni 2022.

"Diperkirakan ada 60 negara yang akan mengalami kesulitan keuangan maupun ekonomi. Dan diperkirakan mereka akan menjadi negara gagal kalau tidak bisa segera mengatasi ekonominya. Inilah yang perlu saya ingatkan kepada kita semuanya," kata Jokowi saat itu.

Baca Juga: Inflasi AS Tertinggi dalam 40 Tahun, Sinyal Kenaikan Suku Bunga The Fed Kian Kuat

Bhima menerangkan, pandemi dan perang Rusia-Ukraina telah menyebabkan inflasi naik tinggi, krisis pangan, pengangguran meningkat, defisit anggaran negara, dan nilai tukar melemah. Sehingga negara yang terancam menjadi negara gagal jumlahnya banyak.

Indonesia sendiri, lanjut Bhima, pernah hampir menjadi negara gagal saat krisis 1998 dan setelahnya. Saat itu, ekonomi RI ambruk, Timor Timur merdeka, terjadi konflik horizontal di Aceh, Maluku, dan Sampit.

Namun, pemerintah Indonesia masih bisa menanganinya. Dimulai dari Presiden BJ Habibie yang berhasil mengendalikan inflasi dan mengembalikan nilai tukar rupiah dari Rp13.000 per dolar AS menjadi ke level normal saat itu.

"Jadi kalau masalahnya ekonomi, butuh pemimpin yang bisa mengatasi masalah ekonomi itu dan mendapatkan legitimasi dari masyarakat dan parlemen," tutur Bhima.

"Sedangkan kalau masalahnya politik, perang saudara, pihak yang bertikai, itu harus meletakkan senjata dan sepakat melakukan resolusi konflik. Baru ekonominya bisa ditata," sambungnya.



Sumber : KOMPAS TV



BERITA LAINNYA



Close Ads x