Salah satu penyebabnya, kata Yustinus, banyak dari wajib pajak yang telah mengikuti tax amnesty pada tahun 2016 lalu.
Selain itu, tarif yang dikenakan pada tax amnesty jilid pertama hanya sekitar dua persen.
“Kami meyakini memang sudah cukup banyak wajib pajak ikut tax amnesty pertama sejak kurang lebih 25 tahun terakhir, dan tarifnya lebih rendah waktu itu, sekitar 2 persen,” jelasnya.
“Kalau ini memang tarifnya lebih tinggi, kurang lebih 6 persen untuk yang lama, dan 14 persen untuk yang baru. Artinya memang ada perbedaan dari sisi tarif, meskipun tetap lebih rendah dibanding tarif normal 3 persen,” urainya.
Yustinus menambahkan, pihaknya juga terus menerima serta mengumpulkan informasi dan data dari negara mitra, dengan harapan para wajib pajak yang menyimpan hartanya di luar negeri mengikuti PPS tersebut.
Pihaknya masih akan menunggu hingga program tersebut berakhir pada 30 Juni 2022 mendatang.
Jika mereka tidak mengikuti PPS, lanjut Yustinus, Ditjen pajak akan melakukan tindak lanjut.
“Memberikan imbauan untuk pembetulan, lalu diimbau untuk membayar pajak, pemeriksaan ataupun penyidikan.”
Baca Juga: Dirjen Pajak Soal Tax Amnesty Jilid II: Kami Ada Catatan Harta yang Belum Dilaporkan
“Pada intinya bukan karena kami sulit untuk menjangkau, tetapi memang pada periode ini kita beri kesempatan lebih dulu pada wajib pajak untuk melaporkan secara suka rela,” jelasnya.
Menurutnya, setelah 3 Juni 2022, baru pihaknya akan melakukan tindakan-tindakan, termasuk juga bisa meminta pada negara mitra untuk memberikan informasi yang diminta.
“Sepanjang kita sedang melakukan upaya hukum pada wajib pajak tersebut.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.