MAKASSAR, KOMPAS.TV – Penurunan produksi rumput laut akibat krisis iklim dam masalah limbah di tingkat rantai pasok berdampak pada daya saing komoditas yang menurun. Padahal, rumput laut merupakan komoditas unggulan nasional.
Menurut data Kementerian Kelautan dan perikanan dengan kontribusi komoditas ini terhadap nilai ekspor Indonesia hingga 279 juta dolar AS di tahun 2020.
Diketahui, agar usaha rumput laut yang produktif, pembudidaya sangat bergantung pada kalender budidaya yang disusun berdasarkan perhitungan cuaca dan musim. Namun kemudian, cara ini tidak lagi efektif diakibatkan oleh kondisi cuaca yang tidak menentu dengan adanya fenomena perubahan iklim.
Suhu panas ekstrem serta curah hujan yang tinggi mempengaruhi tumbuh kembang bibit dan pertumbuhan budidaya rumput laut. Sehingga hal ini berdampak pada jumlah produksi yang kian menurun dari tahun ke tahun.
Menyadari persoalan tersebut, Jaringan Sumber Daya (JaSuDa) bersama Yayasan WWF Indonesia membahas hal ini lewat diskusi multi pihak pada Selasa, 25 Januari 2022 bertema “Kajian Kebutuhan Industri dalam Pengembangan Sektor Rumput Laut”.
Lebih jauh, penurunan produk ini ditegaskan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Dalam Laporan Kinerja Tahunan 2021 Triwulan 3 menyebutkan, produksi rumput laut menurun dari triwulan 3 tahun 2020 sebesar 7,78 juta ton menjadi 7,14 juta ton pada tahun 2021.
Bahkan, hasil produksi ini juga berada di bawah target produksi yang sebesar 8,45 juta ton pada triwulan ketiga tahun 2021. Penurunan ini cukup dirasakan bagi para industri pengolahan dan eksportir.
Baca Juga: Kemasan Makanan dari Rumput Laut Bisa Jadi Pengganti Styrofoam, Ini Kelebihannya
“Tahun ini, kami sering kekurangan bahan baku. Kekurangannya bisa sampai 70-120 ton per hari,” ujar PT Biota Laut Ganggang Chen Xuan dalam siaran pers yang diterima Kompas.tv, Kamis (27/1/2022).
Tantangan
Dalam diskusi tersebut diungkapkan pula berbagai tantangan yang dihadapi produsen rumput laut, baik tantangan dari sisi produksi maupun persyaratan dari pasar. Baik itu tantangan perubahan iklim, kualitas bibit yang buruk, dan isu mikroplastik.
Perwakilan dari Asosiasi Rumput Laut Indonesia Mursalim mengungkapkan, saat ini masih dijumpai adanya pelaku budidaya rumput laut yang menggunakan pelampung serta tali bentangan berbahan plastik, di mana penggunaan bahan plastik menjadi perhatian khusus bagi mitra–mitra bisnis internasionalnya.
Oleh karena itu, adanya integrasi menyeluruh pada multisektor sangat dibutuhkan, termasuk perbaikan budidaya (best practices), investasi pihak eksportir dan industri pada sektor budidaya, perhitungan HPP terbaik bagi seluruh pihak untuk mencapai ekuilibrium secara ekonomis, perbaikan pengelolaan limbah, serta dukungan teknologi berbasis IoT (Internet of Things) menuju smart farming.
Di sisi lain, para pelaku usaha rumput laut juga berharap pemerintah mendukung melalui kebijakan yang mendukung produksi dengan pendampingan teknis teknologi budidaya 4.0, sertifikasi Cara Budidaya Ikan (termasuk di dalamnya komoditas rumput laut) yang Baik (CBIB), serta sentralisasi daerah budidaya rumput laut oleh pemerintah daerah.
Kepala Bidang Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan Hardi Haris menyampaikan, sektor usaha rumput laut telah menyumbang 80 persen produksi perikanan budidaya di Sulawesi Selatan. Hal ini menjadikan provinsi ini sebagai produsen rumput laut tropis terbesar di Indonesia.
“Para pembudidaya harus memperhatikan sanitasi dan kualitas produksi rumput laut. Jika hal seperti itu diperhatikan, maka kualitas akan terjaga serta kepercayaan pasar meningkat,” tuturnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.