Kompas TV bisnis kebijakan

BPJS Kesehatan Keluar Rp15,6 Triliun per Tahun untuk Obati Penyakit akibat Rokok

Kompas.tv - 14 Desember 2021, 10:10 WIB
bpjs-kesehatan-keluar-rp15-6-triliun-per-tahun-untuk-obati-penyakit-akibat-rokok
Menkeu Sri Mulyani menyebut kenaikan tarif cukai rokok untuk mengurangi perokok pemula, mengurangi uang negara untuk subsidi BPJS Kesehatan akibat rokok, serta meningkatkan kualitas SDM (14/12/2021).. (Sumber: Antara )
Penulis : Dina Karina | Editor : Desy Afrianti

JAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan, kenaikan tarif cukai rokok adalah salah satu upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di dalam negeri.

SDM yang berkualitas akan meningkatkan produktivitas nasional, hingga akhirnya mendukung pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan dalam jangka menengah panjang.

"Berbagai indikator kualitas modal manusia Indonesia seperti Human Capital Index (HCI) yang mencakup kesehatan manusia masih perlu ditingkatkan," kata Sri Mulyani dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas TV, dikutip Selasa (14/12/2021).

Sri Mulyani mengungkapkan, pemerintah telah meningkatkan belanja kesehatan, menjadi minimal 5 persen dari total belanja pemerintah di APBN. Belanja kesehatan itu digunakan untuk upaya pencegahan (preventive), pengobatan (curative), maupun peningkatan kualitas dan kapasitas fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan.

Baca Juga: Cukai Rokok Naik, Ini Daftar Lengkap Harga Rokok 2022

Anggaran pemerintah untuk sektor kesehatan tentu sia-sia jika tidak ada kebijakan pencegahan dari sisi hulu. Apalagi biaya pengobatan saat ini semakin mahal. Oleh karena itu, pemerintah mengintervensi untuk mengurangi konsumsi rokok yang saat ini mengkhawatirkan.

Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, ada 9 dari 100 anak di Indonesia masih merokok. Jumlah ini termasuk yang tertinggi di Kawasan Asia.

"Berbagai riset dan kajian telah membuktikan berbagai kerugian yang timbul akibat tingginya konsumsi rokok. Selain menjadi faktor risiko kematian terbesar kedua di Indonesia menurut Institute of Health Metrics and Evaluation (IHME) pada tahun 2019, konsumsi rokok juga meningkatkan risiko stunting dan memperparah dampak kesehatan akibat Covid-19," kata Sri Mulyani.

Selain mengancam kesehatan, rokok juga memperburuk taraf sosial-ekonomi keluarga Indonesia, khususnya keluarga miskin. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) di bulan Maret 2021, konsumsi rokok merupakan pengeluaran kedua tertinggi masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan setelah konsumsi beras.

Baca Juga: Erick Thohir: Indonesia Butuh 17,5 Juta Ahli Digital Sampai 2035

Dilihat dari total pengeluaran, konsumsi rokok mencapai 11,9 persen di perkotaan dan 11,24 persen di perdesaan. Angka tersebut hanya lebih rendah dari konsumsi beras dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk protein seperti daging, telur, tempe, serta ikan.

Kemudian menurut Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, 1 persen peningkatan pengeluaran untuk rokok juga meningkatkan kemungkinan rumah tangga menjadi miskin sebesar 6 persen.

"Kerugian akibat konsumsi rokok juga merambat ke perekonomian dan keuangan negara. Di samping menimbulkan kerugian jangka panjang bagi perekonomian, rokok juga berdampak langsung pada kenaikan biaya kesehatan," ujar Sri Mulyani.

Menurut kajian Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) di tahun 2021, biaya kesehatan akibat merokok tercatat sebesar Rp17,9-27,7 triliun setahun.

Baca Juga: Penelitian: Bansos Dihentikan, Penduduk Miskin Bertambah 29 Juta Orang di 2022

Dari total biaya ini, terdapat Rp10,5 – 15,6 triliun yang merupakan biaya perawatan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan. Biaya tersebut setara dengan 20 persen-30 persen dari besaran subsidi Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per tahun, sebesar Rp48,8 triliun yang dikeluarkan oleh APBN.

Pemerintah berkomitmen terus menekan konsumsi rokok, khususnya perokok anak-anak. Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menargetkan prevalensi merokok anak Indonesia usia 10-18 tahun turun minimal menjadi 8,7 persen di tahun 2024.

Kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) adalah bagian dari upaya mencapai target ini, guna mendorong peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sekaligus peningkatan produktivitas SDM ke depannya.

"Hal ini mengingat bahwa konsumsi rokok terutama di kalangan anak sangat dipengaruhi oleh harga rokok," ucap Sri Mulyani.

Sri Mulyani menegaskan, kebijakan kenaikan tarif cukai selama ini telah efektif menekan konsumsi rokok. Tercermin dari turunnya konsumsi rokok di tahun 2020 sebesar 9,7 persen dari 2019, seiring meningkatnya indeks kemahalan rokok sebesar 12,6 persen.




Sumber :




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x