JAKARTA, KOMPAS.TV – Pemerintah sedang mematangkan dan mengevaluasi penerapan harga karbon atau nilai ekonomi karbon. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi target pengurangan emisi karbon.
Saat ini, kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak memadai untuk membiayai upaya mitigasi perubahan iklim sesuai target pengurangan emisi gas rumah kaca.
Oleh karena itu, pemerintah menyiapkan rencana penerapan tarif emisi karbon atau pungutan karbon (carbon pricing) sebagai sumber baru pembiayaan pembangunan berkelanjutan.
Melansir dari laman Kompas.id, estimasi kebutuhan pendanaan untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca adalah sebesar Rp3.461 triliun sampai tahun 2030, atau Rp266,2 triliun per tahun.
Estimasi itu berlaku sejak tahun 2018 dengan mengacu pada laporan Second Biennial Update Report (BUR-2).
Belakangan, setelah adanya peta jalan Nationally Determined Contribution (NDC), estimasi kebutuhan pendanaan untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca menjadi lebih tinggi, yakni Rp3.779 triliun (jika menggunakan pembangkit listrik tenaga sampah/PLTSa) atau Rp3.776 triliun (jika menggunakan pembangkit listrik refuse-derived fuel/RDF).
Artinya, mulai tahun 2021-2030, rata-rata pendanaan yang dibutuhkan setiap tahunnya setidaknya memerlukan alokasi Rp343,6 triliun (dengan PLTSa) atau Rp343,3 triliun (dengan RDF) dalam APBN.
Baca Juga: Studi: Lautan Dunia Terus Menghangat, Meski Emisi Karbon Berkurang
Biaya Tinggi
Adapun target NDC Indonesia adalah menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 sebesar 29 persen atau setara 834 juta ton CO2 dengan usaha mandiri atau 41 persen (setara 1,08 miliar ton CO2) dengan bantuan internasional.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, biaya yang dibutuhkan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di Indonesia sangat tinggi. Sementara selama lima tahun terakhir, rata-rata realisasi belanja untuk perubahan iklim dalam APBN hanya Rp86,7 triliun per tahun.
Dengan kata lain, Indonesia hanya mampu memenuhi 32,6 persen alokasi anggaran perubahan iklim dari total kebutuhan Rp266,2 triliun setiap tahun.
Oleh karena itu, upaya menurunkan emisi karbon tidak bisa hanya mengandalkan APBN. Ancaman krisis iklim harus dihadapi secara gotong royong dari pemerintah, swasta, sampai masyarakat.
”Angka yang dibutuhkan itu luar biasa, bahkan lebih besar daripada anggaran kesehatan kita di program pemulihan ekonomi nasional yang besarnya Rp172 triliun,” kata Sri Mulyani saat membuka webinar bertajuk ”Climate Change Challenge: Preparing for Indonesia’s Green and Sustainable Future”, Jumat (11/6/2021).
Meski terbatas, ia mengatakan, pemerintah tetap berupaya memenuhi kebutuhan itu melalui instrumen fiskal, baik APBN maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Saat ini, ada 11 daerah yang melakukan uji coba mekanisme pendanaan regional untuk penanganan perubahan iklim.
Tahun ini, ada enam daerah lain yang juga akan ikut dalam uji coba mekanisme pendanaan perubahan iklim itu. ”Diharapkan lebih banyak kepala daerah yang meletakkan isu perubahan iklim ke dalam kebijakan prioritas mereka agar ada tenaga ganda dari pusat dan daerah,” katanya.
Baca Juga: Turun! Emisi Gas Karbon CO2 Dunia Selama Pandemi Covid-19 Tahun Ini
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.