"Pelaku kabur, korban ditinggalkan begitu saja di sawah dalam keadaan pendarahan," jelas Velma.
Korban harus berjalan sambil menahan sakit hingga jalan utama, lanjutnya.
"Dari situ, korban berteriak meminta tolong dan langsung dibawa ke puskesmas terdekat," kata Velma, sesuai keterangan korban dalam laporannya kepada polisi.
Malam itu, sang ayah langsung dikabari untuk datang ke puskesmas. Dari situ, anaknya harus dibawa ke rumah sakit di Tentena, kota terdekat dari Lembah Bada.
Hanya ada satu akses jalan ke Tentena, menembus deretan bukit dengan mobil selama sekitar tiga jam.
"Saya harus mencari pinjaman uang untuk ongkos transportasi ke Tentena," kata sang ayah.
Dia akhirnya meminjam uang sekitar Rp2 juta untuk biaya transportasi anaknya berobat ke Tentena dan lebih jauh lagi, Kota Poso.
Utang itu baru bisa dilunasi setahun setelah peristiwa yang mematahkan hatinya itu.
Velma ditelepon polisi untuk mendampingi kasus ini pada pukul 04.00 WITA. Paginya, dia langsung berangkat ke Tentena.
"Setiap sepuluh menit korban kesakitan. Apalagi ketika mau buang air kecil," ungkap Velma.
Kini, dua tahun setelah kejadian, korban masih memulihkan diri.
Velma mengatakan, dia lega karena korban mulai bisa fokus di sekolah. Bahkan nilai mata pelajaran matematika korban adalah yang terbaik di sekolah.
Peran Velma sebagai aktivis perlindungan anak dan perempuan begitu besar dampaknya bagi sistem adat di Lembah Bada.
Selain mendampingi korban kekerasan seksual yang kebanyakan anak-anak, Velma juga menemui Majelis Adat dari 14 desa di Lembah Bada.
Setiap desa memiliki majelis adat dan aturan yang berbeda tentang kekerasan seksual.
"Satu majelis adat yang saya temui menjelaskan bahwa yang didenda adalah orangtuanya. Tapi hidup anak masih bergantung pada orang tua.
"Itu tidak baik untuk tumbuh kembang anak, dia akan selamanya merasa bersalah," ungkap Velma.
Maka dia pun melobi para Majelis Adat, terutama di desa tempat tinggal korban, agar korban dibebaskan dari denda 'cuci kampung'.
Dia mencoba memberi pengertian kepada Majelis Adat, bahwa keluarga juga sejatinya merupakan korban dalam kasus kekerasan seksual.
Selain beban psikis, keluarga juga harus mengeluarkan uang untuk biaya perawatan korban, ongkos transportasi ketika persidangan, dan biaya pemulihan psikis korban.
Semua itu tidak diatur oleh adat.
Hukum adat sejatinya juga berlaku bagi pelaku kejahatan seksual. Pelaku bisa dikenakan sanksi berupa tiga ekor kerbau dan selebihnya dalam bentuk uang yang diberikan kepada korban.
Namun dalam beberapa kasus terdahulu, pelaku justru mengulang perbuatannya kepada korban yang sama ketika masih mencicil pembayaran denda kepada korban.
"Fenomena yang terjadi di sini, pelaku menganggap denda bisa dibayarkan oleh sanak saudaranya, sehingga dia meremehkan denda adat itu," kata Velma, yang menilai hukum adat tidak cukup untuk membuat jera pelaku.
Maka, Velma memulai jalan yang teramat terjal, untuk meyakinkan para Majelis Adat agar pelaku kejahatan seksual tidak lagi dihukum secara adat, melainkan hukum positif.
"Dari 14 desa di Lembah Bada, sekitar delapan desa sudah paham untuk menindak para pelaku kekerasan seksual," ungkap Velma.
Wakil Ketua Majelis Adat Desa Gintu, Salber Pole mengungkap, di desanya kini sudah tidak ada lagi denda 'cuci kampung' untuk korban.
"Kepada korban akan diberikan petuah, karena korban belum mengetahui bagaimana liku hidup ini, dia tidak akan diberikan sanksi adat," jelas Salber.
Baca juga:
Majelis Adat juga menyerahkan sepenuhnya urusan hukum kepada pihak yang berwenang. Bila pelaku sudah dipidanakan, hukum adat tidak akan dikenakan lagi.
"Hukum adat itu menjunjung tinggi harkat, martabat dan hak asasi seseorang. Pelaku sudah menjalani hukumannya tidak akan disanksi lagi," kata Salber.
Bagi Velma, untuk sementara keputusan itu sudah cukup adil.
Ada potensi pelaku kejahatan seksual memiliki impunitas dalam hukum adat, menurut Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Siti Aminah Tardi.
"Adat tidak menjadikan pelaku mendapat penghukuman lewat hukum positif," kata Siti.
"Pelaku bisa berlindung di balik hukum adat untuk menghindari hukum pidana."
Terlebih, kata Siti, sejumlah penelitian di Indonesia menemukan bahwa kebanyakan struktur hukum adat di Indonesia bersifat patriarki.
"Belum ada perwakilan atau kepentingan perempuan. Pengenaan sanksi lebih berbasis kepada ganti kerugian yang nilainya jadi berapa ekor kambing, kuda, lembu atau kerbau," imbuh dia.
Seseorang yang memiliki kekuatan ekonomi, kata Siti, bisa saja dengan mudah membayar sanksi adat.
"Denda itu tidak memperhitungkan trauma psikis yang dialami korban bertahun-tahun."
Tetapi, tambah Siti, hukum adat berpotensi berubah karena sifatnya yang dinamis.
Usaha Velma menjadi contoh bagaimana hukum adat dapat berubah menjadi lebih berpihak kepada korban.
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang memiliki aturan lebih lengkap soal pemenuhan hak korban, disebut Velma sebagai kabar yang baik.
"Ini angin segar bagi saya sebagai pendamping, juga baik bagi korban," kata Velma.
Meski begitu, pekerjaannya sebagai satu-satunya aktivis perlindungan perempuan dan anak di Lembah Bada masih jauh dari selesai.
Dia berharap, lebih banyak perempuan mengambil peranan seperti dirinya.
"Semua perempuan dan ibu bisa seperti saya. Apalagi jika mereka 'normal'. Maksud saya, normal pikiran dan tidak difabel seperti saya, yang memakai tongkat untuk berjalan."
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.