Padahal bagi Aditya, sepak bola adalah "panggilan jiwa". "Ada yang kurang rasanya kalau enggak main bola," tuturnya.
Aditya kemudian diberitahu temannya mengenai sepak bola amputasi dan tertarik mencoba berlatih.
Dia mengaku kesulitan pada awalnya. Sebab, sepak bola amputasi memiliki aturan yang berbeda dengan sepak bola non-disabilitas.
Pada sepak bola amputasi, setiap pemain harus menggunakan dua tongkat penopang sebagai tumpuan saat bermain. Satu tim terdiri dari tujuh orang, bukan sebelas. Ukuran lapangannya juga lebih kecil dengan durasi pertandingan dua kali 25 menit.
"Saya harus mengulang lagi dari dasar, nendang bola pakai tongkat bagaimana, sulit pas awalnya. Saya cuma bisa jalan cepat dengan tongkat, setiap hari latihan gimana caranya saya bisa lari. Lama-lama saya bisa dan ada motivasi lagi untuk main bola lagi," ujar Aditya.
Kepercayaan diri Aditya pun perlahan bangkit. Dia kemudian lolos seleksi Tim Nasional Sepakbola Amputasi dan kini menyandang ban kapten.
Bagi Aditya, bisa berlaga di Piala Dunia terasa seperti mimpi. Ini adalah sesuatu yang bahkan tidak berani dia impikan ketika bermain di tim non-disabilitas.
Kini, Aditya berharap timnya bisa meraih hasil yang baik dalam Piala Dunia. Di luar itu, Aditya bercita-cita mendirikan sekolah sepak bola amputasi.
"Banyak orang yang diamputasi bahkan sejak usia dini ingin main bola, tapi enggak ada wadah dan pembinaannya, kan sayang," kata Aditya.
"Padahal mereka bisa membanggakan keluarga walau ada keterbatasan. Seperti tim ini yang sudah membuktikan kalau siapa saja bisa memainkan sepak bola. Sepak bola itu untuk semua, enggak ada itu diskriminasi dan perbedaan," tutur dia.
Rusharmanto Sutomo tak kuasa menahan air mata ketika pada pertengahan Maret lalu, dia melepas keberangkatan tim Garuda Inaf menuju Bangladesh untuk mengikuti kualifikasi Piala Dunia.
Pelepasan itu terasa begitu sunyi, berbeda dengan pelepasan tim-tim olahraga lainnya ketika hendak mewakili negara dalam ajang olahraga bergengsi.
"Di tengah prestasi yang bisa dibilang sejarah sepak bola, pelepasannya itu sepi, di tengah kesunyian," kata Sutomo.
Sutomo merupakan salah satu pendiri tim Garuda Inaf pada 2018, yang kini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Sepakbola Amputasi Indonesia (PSAI).
Sebelum ke Bangladesh, PSAI pontang-panting mencari dana. Kondisi tim memang serba terbatas, jauh dari fasilitas yang selayaknya didapatkan oleh sebuah tim nasional.
Setiap musim latihan, para pemain menginap di mes milik Sutomo yang berlokasi di kawasan padat penduduk di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Terdapat tiga kamar di mes itu, sedangkan jumlah pemain dan anggota tim yang menginap mencapai 20 orang. Terkadang sebagian harus tidur di lantai beralas kasur tipis atau karpet.
Tidak ada bus khusus untuk keberangkatan tim menuju tempat latihan. Biasanya mereka konvoi menggunakan sepeda motor, mengesampingkan risiko yang bisa menimpa di jalan.
Selepas latihan, mereka terbiasa makan bersama di warteg. Tidak ada menu khusus atlet dengan asupan gizi yang ditakar.
Baca juga:
Keberangkatan ke Bangladesh pun akhirnya terwujud setelah ada bantuan dari sejumlah pihak. Itu pun mereka masih harus berutang pada agen perjalanan dan saat ini masih mengumpulkan dana untuk menggantinya.
"Bahkan teman-teman itu transit di Malaysia minum satu botol air untuk 18 orang pemain, diputar, karena anggarannya sudah tipis benar untuk beli sesuatu, untuk makanan enggak cukup," kenang Sutomo.
"Dengan serba kekurangan, teman-teman itu membuktikan komitmen mereka untuk bermain sebaik-baiknya. Walaupun kita punya keterbatasan, kita enggak mau kalah dengan teman-teman yang orang bilang dalam kondisi komplit," tuturnya.
Setelah lolos ke putaran final Piala Dunia, tim Garuda Inaf berharap pemerintah bisa memfasilitasi mereka. Apalagi, Kementerian Pemuda dan Olahraga turut menargetkan agar Garuda Inaf bisa mencapai 10 besar dalam Piala Dunia nanti.
"Kita sih semua pemain optimistis (dengan target) itu, yang penting yang kami butuhkan saat ini sarana dan prasarana yang lebih dari sebelumnya," ujar Tomo.
Menteri Pemuda dan Olahraga Zainuddin Amali sebelumnya menjanjikan dukungan bagi Tim Garuda Inaf berupa tempat latihan, transportasi, hingga nutrisi menjelang Piala Dunia. Tetapi sejauh ini, dukungan itu belum terealisasi.
Sekretaris Menteri Pendidikan dan Olahraga, Joni Mardizal justru mengatakan belum ada anggaran khusus untuk akomodasi para pemain Garuda Inaf. Bentuk perhatian pemerintah sejauh ini, kata dia, baru sebatas pelepasan dan penyambutan bagi tim.
"Kalau bentuk dukungan, dengan kehadiran Deputi Bidang Pembudayaan Olahraga saat pelepasan dan menyambut kedatangan mereka itu salah satu bentuk perhatian. Tapi secara finansial mungkin karena keterbatasan anggaran kita belum dianggarkan khusus untuk itu," kata Joni kepada BBC News Indonesia.
Bagi Bahir dan rekan-rekan satu timnya, berlaga di Piala Dunia 2022 adalah langkah awal menuju mimpi mereka yang lebih besar: mencapai posisi yang setara dengan tim non-disabilitas.
Mereka mendambakan suatu saat nanti muncul lebih banyak klub di berbagai daerah di Indonesia, sehingga bisa membentuk kompetisi sendiri seperti Liga 1 Indonesia. Dengan demikian, mereka juga terus bisa mengasah kemampuan mereka di lapangan hijau.
"Mimpi kami supaya sepak bola amputasi ini berkembang seperti sepak bola non-disabilitas, liganya berkembang, ada anggaran pembinaan dari Timnas sampai ke daerah-daerah, jadi sepak bola ini bisa menjadikan hidup difabel lebih baik," kata dia.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.