"Ketika nanti kita dihadapkan pada risiko itu ya kita berharap itu tidak terjadi lagi, bahkan lebih rendah. Artinya rumah sakit yang ada sekarang ini masih cukup memadai untuk mengakomodasi kenaikan kasus dan kebutuhan perawatan dari pasien," kata Hery.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono juga memperkirakan bahwa kenaikan kasus setelah lebaran tidak sebesar gelombang-gelombang sebelumnya.
"Kalau sekarang kasusnya ada 500-an, atau 1000-an karena banyak yang tidak terdeteksi, seminggu kemudian akan meningkat 1,5 kali lipat, dan minggu-minggu berikutnya 1,5 kalinya," kata Miko.
"Peningkatan itu memang tidak tinggi, tidak seperti biasanya, tapi tetap saja kalau lama itu akan menimbulkan kasus yang sama."
Namun demikian, ia mengatakan pemerintah jangan sampai mengendorkan surveilans kasus Covid-19, baik itu surveilans aktif berupa penelusuran kontak dan pengurutan genom maupun surveilans pasif berupa tes.
Hal itu supaya pemerintah bisa mendeteksi kenaikan kasus, serta adanya mutasi atau varian baru yang masuk ke Indonesia.
Miko sebetulnya tidak setuju dengan langkah pemerintah meniadakan syarat tes Covid bagi pemudik yang sudah mendapatkan vaksin booster. Menurutnya, antibodi tidak menjamin bebas dari infeksi.
Ia mencontohkan selama gelombang ketiga Januari-Maret 2022, jumlah kasus lebih banyak dari gelombang-gelombang sebelumnya padahal saat itu cakupan vaksinasi nasional untuk dosis pertama sekitar 80%, dosis kedua 70%, dan dosis ketiga 10%. "Tapi itu tidak bisa mencegah gelombang ketiga," ujarnya.
Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane berpendapat meski mudik kemungkinan besar akan meningkatkan jumlah kasus, namun itu tidak akan sampai menjadi lonjakan gelombang baru.
Menurut Masdalina, lonjakan kasus Covid-19 tidak langsung disebabkan oleh mobilitas, tapi oleh kemunculan variant of concern yang lebih menular.
"Pada kondisi normal pun, bukan mudik atau libur panjang, kasus bisa naik kalau ada variant of concern," ujarnya.
Presiden Joko Widodo menganggap relaksasi aturan mudik tahun ini sebagai bagian dari masa transisi pandemi Covid-19 ke endemi, yang akan berlangsung selama enam bulan.
Ia mengatakan pemerintah Indonesia tidak ingin langsung mencabut sama sekali protokol kesehatan seperti pemerintah di sejumlah negara lain.
"Saya tidak ingin kayak negara-negara lain, buka masker. Enggak," kata Presiden Jokowi usai meninjau Sirkuit Formula E di kawasan Ancol, Jakarta Utara, Senin (25/04).
"Ada tahapan-tahapan yang kita tidak perlu tergesa-gesa. Karena apapun kita punya pengalaman, saat Delta seperti apa, saat Omicron seperti apa, sehingga kehati-hatian, kewaspadaan tetap harus," imbuh Presiden.
Sebagian masyarakat Indonesia bersiap untuk melakukan mudik pertama mereka dalam dua tahun. Salah satunya adalah Yesie, 30 tahun, yang akan mudik dari Lampung ke Jambi dengan menyewa mobil dan kembali dengan kendaraan umum.
Yesie mengaku masih menyimpan khawatir akan penularan Covid-19 namun di sisi lain merasa sudah punya antibodi.
"Kekhawatiran tertular masih ada walaupun aku sudah vaksin sampai dosis ketiga, dan dulu sudah pernah kena juga. Jadi kalau khawatir tertular itu, bukan khawatir sakitnya akan parah sih," ujarnya.
Jajak pendapat litbang Kompas kepada 506 warga di 34 provinsi menemukan sebagian besar responden menyatakan tidak khawatir akan penularan Covid-19 baik dalam perjalanan maupun saat berkumpul bersama keluarga. Namun sekitar sepertiganya masih khawatir karena menyadari risiko penularan virus corona masih ada.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.