> >

Dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK, Ahli: Pelanggaran Pemilu Tak Diselesaikan MK, Menunda Keadilan

Hukum | 2 April 2024, 09:53 WIB
Aan Eko Widiarto, dalam sidang PHPU di MK, Selasa (2/4/2024) menyebut ada frasa yang berbeda mengenai wewenang penanganan perselisihan tentang hasil pemilihan umum dalam undang-undang. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pelanggaran pemilihan umum (pemilu) yang belum, tidak dapat, atau tidak ingin diselesaikan oleh penyelenggara pemilu dan tidak diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) hanya akan menunda keadilan.

Pendapat itu disampaikan oleh Aan Eko Widiarto, saksi ahli yang diajukan oleh pasangan capres-cawapres nomor urut 3 pada Pilpres 2024, Ganjar Pranowo-Mahfud MD dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Presiden di Mahkamah Konstitusi, Selasa (2/4/2024).

Menurut ahli Aan Eko Widiarto, ada dua pelanggaran, yaitu pelanggaran yang tidak dapat ditolerir dan ata pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif.

“Ada dua pelanggaran, yaitu pelanggaran yang tidak dapat ditolerir dan ata pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif,” tuturnya.

Baca Juga: Kata Perludem Terkait Agenda Pemeriksaan Ahli Tim Ganjar-Mahfud, Soroti Pencalonan Gibran

Yang kedua, kata dia, mengenai hasil perolehan maka maknanya adalah memeriksa dan mengadili perselisihan penetapan perolehan jumlah suara peserta pemilihan umum secara nasional yang dibuat oleh KPU.

“Dengan demikian maka seharusnyalah menurut penalaran hukum yang wajar, kita kembali ke frasa wewenang sesuai ketentuan UUD 1945.”

“Pertama, pelangaran pemilu yang belum, tidak dapat, atau tidak ingin diselesaikan oleh penyelenggara pemilu dan tidak diputus oleh MK, maka hanya akan menunda keadilan,” jelasnya.

Kedua, lanjut dia, mahkamah adalah pengawal konstitusi, MK memutus perkara berdasarkan undang-undang sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.

Menurutnya mahkamah tidak boleh membiarkan aturan prosedural memasung dan mengesampingkan keadilan substantif.

“Bila hanya memutus hasil maka peserta pemilu yang melakukan pelanggaran yang seberat-beratnya dan menang, tidak akan dihukum.”

 

Hal itu, kata dia bertentangan dengan asas bahwa tidak boleh seseorang diuntungkan oleh pelanggaran yang ia buat dan tidak bleh seseoranga dirugikan oleh pelanggaran yang dibuat oleh orang lain.

“Yang paling dalam adalah sumpah hakim konstitusi. Dalam sumpah ini, dua kali undang-undang dasar ditautkan,” ucapnya.

“Yang pertama adalah memegang teguh undang-undang dasar, yang kedua adalah ketika menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-urusnya masih ada frasa menurut UUD.”

Baca Juga: Pertanyakan Kapasitas Ahli AMIN di Sidang MK, Yusril: Ahli Hukum atau Nujum?

Ia menambahkan, kekhawairannya adalah terjadi keadilan sesat apabila dibangun legal reasoning bahwa cukup penyelesaian pelangaran pemilu dan sengketa proses pemilu dilakukan oleh bawaslu dan tertututp bagi cabang ekuasaan yudisial menjalankan peran check and balance.

“Maka dalam perspektif electoral justice telah tercipta keadilan sesat.”

“Bawaslu menurut Undang-Undang Pemilu adalah salah satau penyelenggara pemilu, cabang kekuasan eksekutif, sehingga seharusnya bisa ditilik dan diimbangi oleh cabang kekuasaan lainnya,” jelasnya.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU