Dirjen HAM Sebut Kasus Anak Diperkosa 11 Orang di Sulteng Memilukan: Masuk TPKS, Usut Transparan
Peristiwa | 3 Juni 2023, 12:55 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM Dhahana Putra memandang kasus anak perempuan 15 tahun di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah yang diduga diperkosa 11 orang merupakan peristiwa yang memilukan.
Oleh karena itu, ia berharap para tersangka yang melakukan perbuatan keji itu dapat dihukum seadil-adilnya. Dirjen HAM juga meminta polisi mengusut kasus tersebut secara transparan.
“Kami yakin aparat penegak hukum dapat mengusut kasus ini sampai tuntas secara transparan dengan mengedepankan asas kepentingan terbaik bagi anak korban sehingga para pelaku perbuatan keji itu akan dihukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Dhahana dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.tv, Sabtu (3/6/2023).
Menurut Direktur Jenderal HAM, APH tidak perlu ragu untuk mempertimbangkan UU Perlindungan Anak, UU Sistem Peradilan Pidana Anak, maupun UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai acuan dalam mendalami perkara.
“Jelas bahwa Pasal 4 Ayat (2) UU 12 Tahun 2022 tentang TPKS disebutkan perkosaan atau persetubuhan terhadap anak dikategorikan sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” terangnya.
Dhahana menyatakan pihaknya juga berkoordinasi dengan DP3A Pemprov Sulawesi Tengah guna mendorong upaya-upaya pemenuhan HAM bagi anak perempuan yang menjadi korban kasus ini.
Baca Juga: Temui Orang Tua Korban Pemerkosaan di Sulteng, LPSK Siap Dampingi Korban!
“Kami sudah minta Pak Direktur Yankomas agar segera berkoordinasi dengan DP3A Pemprov Sulawesi Tengah dan seluruh pihak terkait untuk menjamin mekanisme pemulihan yang komprehensif bagi anak perempuan yang menjadi korban, utamanya hak atas kesehatan fisik dan psikis,”jelasnya.
Lebih lanjut, Dhahana juga mengungkapkan Direktorat Jenderal HAM bersama para pemangku kepentingan lainnya tengah menggodok peraturan pelaksana UU TPKS setingkat Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.
“Segala upaya untuk menangani tindak pidana kekerasan seksual harus menjunjung tinggi prinsip HAM dengan kerangka yang komprehensif untuk mencegah kekerasan seksual, melindungi korban dan penyintas sekaligus mempromosikan perubahan sosial,”imbuh Dhahana.
Menurutnya, dengan adanya Peraturan Pelaksana dari TPKS ini maka akan semakin menguatkan komitmen guna mencegah maupun menangani persoalan tindak pidana kekerasan seksual di Tanah Air.
“Kami yakin Peraturan Pelaksana ini juga akan membantu APH ke depan dalam menangani kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual,” pungkasnya.
Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPA) menilai persetubuhan yang dilakukan 11 orang termasuk guru, kepala desa dan aparat kepada anak 15 tahun di Parigi Moutong tetaplah pemerkosan.
Baca Juga: Kondisi Korban Pemerkosaan di Sulteng Membaik, Dokter: Ada Kemungkinan Operasi Angkat Rahim Batal
Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPA, Nahar menyebut terdapat perbedaan istilah antara perkosaan dan persetubuhan sesuai dengan pasal 285 KUHP dan pasal 76 D Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang Anak.
Nahar mengatakan, jika menyangkut anak, tidak hanya bisa terlepas dari persetubuhan saja, namun juga beriringan dengan kekerasan terhadap anak dengan sengaja melakukan tipu daya atau membujuk anak melakukan persetubuhan.
"Caranya itu tidak hanya dengan kekerasan saja dan ancaman kekerasan tapi ada unsur lain yang ditegaskan dalam undang-undang khusus ini nomor 17 tahun 2016 yaitu siapapun yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain itu sudah kena pasal ini," ucap Nahar dalam laporan jurnalis KompasTV, Jumat (2/3).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa setiap pelaku bisa dikenakan pasal yang berbeda sesuai dengan alat bukti dan pengakuan yang ada.
Nahar juga membantah terkait anggapan jika persetubuhan dilakukan dengan kesepakatan maka pelaku akan bebas.
"Ada anggapan bahwa kalau misalnya ada sepakat lalu kemudian pelaku akan terhindar dari hukum. Kalau korbannya anak, tidak perlu lagi siapapun yang melakukan itu dia harus diproses hukum. Setiap orang yang melakukan kekerasan terhadap anak atau tipu muslihat itu harus diproses dengan menerapkan hukuman yang berat sampai dengan hukuman mati dan lain-lain," ucap dia.
Penulis : Dian Nita Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV