> >

Dokter Spesialis Forensik Jelaskan Dasar Hukum Autopsi, Bisa Tanpa Persetujuan Keluarga

Hukum | 26 Juli 2022, 21:52 WIB
Dokter spesialis forensik dan medikolegal Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI), Made Ayu Mira Wiryaningsih. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Dokter spesialis forensik dan medikolegal Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI), Made Ayu Mira Wiryaningsih, menjelaskan dasar hukum autopsi.

Menurut Ayu, setidaknya ada tiga pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) yang menjadi acuan dokter forensik.

“Jadi sebenarnya kalau peran forensik, kita mengacu pada KUHAP, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang utama adalah di Pasal 133, 134, dan 135,” jelasnya dalam dialog Kompas Petang, Kompas TV, Selasa (26/7/2022).

“Di mana Pasal 133 menyatakan penyidik boleh meminta bantuan dari dokter, ahli spesial forensik, dokter, atau ahli lainnya, untuk memperjelas suatu perkara, kurang lebih seperti itu isinya.”

Kemudian, lanjut dia, di Pasal 134, sebelum pelaksanaan autopsi, polisi bisa memberitahukan pada keluarga, bahwa proses ini penting untuk proses penyelidikan.

“Apabila dari keluarga tidak ada tanggapan, maka tanpa persetujuan keluarga pun sebetulnya bisa dilakukan autopsi,” tuturnya.

Baca Juga: Tanggapi Hasil Autopsi Ulang Brigadir J, Pakar Kriminologi UI: Penyidik Jangan Pakai Cerita Lama

“Nah, kalau gali kubur, pada kasus ini, itu ditekankan pada Pasal 135, di mana dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan, perlu dilakukan suatu penggalian mayat, atau ekshumasi atau gali kubur,” tambahnya.

Pelaksanaannya, kata Ayu, dapat mengacu pada ketentuan di Pasal 133 dan 134.

Sedangkan untuk pelaksanaan autopsi ulang, menurut dia, tergantung dari kebutuhan. Misalnya, di dalam proses penyelidikan dirasa bukti-buktinya kurang.

“Sehingga dirasa perlu dilakukan pemeriksaan kembali, ya sah-sah saja.”

“Jadi nanti prosedurnya sama, ada surat permintaan untuk dilakukan gali kubur dan autopsi ulang, sehingga nanti dokter yang melakukan pemeriksaan ada dasarnya,” bebernya.

Dokter forensik, imbuh Ayu, selalu bekerja atas permintaan. Pada kasus tindak pidana, proses autopsi dilakukan atas permintaan penyidik.

“Berarti nanti surat permintaannya ada, ditujukan kepada siapa? Dan orang-orang itulah yang akan turun melakukan pemeriksaan. Pemeriksaannya tetap sama.”

Mengenai tantangan yang mungkin dihadapi oleh tim autopsi pada proses ekshumasi jenazah yang telah dua pekan dimakamkan, seperti pada kasus Brigadir J atau Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat, ia mengakui tantangan pasti ada.

“Tentu (ada tantangan). Kita sih dari dokter forensik selalu ingin semakin cepat semakin baik.”

Ia mencontohkan proses visum et repertum pada orang yang masih hidup. Luka atau memar yang dialami oleh orang yang bersangkutan akan mengalami penyembuhan, sehingga semakin cepat visum dilakukan, akan semakin baik.

“Ada luka-luka, yang kalau orang hidup, memar. Nanti ditunggu berapa hari memarnya sudah hilang, jadi hilanglah bukti-bukti itu,” tuturnya.

Baca Juga: Adakah batas Waktu Pelaksanaan Autopsi Ulang? Begini Penjelasan Dokter Spesialis Forensik

Tujuan melakukan visum et repertum atau autopsi, kata dia, adalah mempreservasi barang bukti.

Pada kasus korban yang sudah meninggal, tujuannya adalah mempreservasi bukti-bukti sebelum mengalami proses pembusukan.

“Tentunya semakin cepat semakin baik. Kalau misalnya ditunda-tunda, ya otomatis pasti ada tantangan-tantangan tersendiri terkait bukti yang bisa diperoleh,” tegasnya.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU