> >

Ini Kata Pakar Hukum Soal Vonis Bebas Terdakwa Pelecehan Seksual, Dekan Fisip Unri Syafri Harto

Sapa indonesia pagi | 4 April 2022, 09:50 WIB

Ilustrasi: pelecehan seksual. Pakar Hukum Pidana Asep Iwan Iriawan menilai bahwa perkara pelecehan seksual memang sulit dibuktikan oleh karena itu butuh usaha lebih dari berbagai pihak untuk membuktikannya di depan hakim (Sumber: Kompas.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Vonis bebas dari pengadilan negeri Pekanbaru dalam kasus dugaan pelecehan seksual yang didakwakan pada Dekan (nonaktif) FISIP Universitas Riau (Unri) Syafri Harto menuai polemik.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan Dekan FISIP nonaktif Unri, Syafri Harto tidak terbukti melakukan tindak pidana dalam perkara pencabulan mahasiswi yang didakwakan dalam persidangan pada Rabu (30/3/2022) lalu itu.

"Mengadili menyatakan terdakwa Syafri Harto tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana sesuai dakwaan primer dan subsider," kata Ketua Majelis Hakim Estiono dalam persidangan.

Dalam hal ini, Pakar Hukum Pidana Asep Iwan Iriawan menilai bahwa perkara pelecehan seksual memang sulit untuk dibuktikan mengingat pelaku kerap beraksi di tempat tertutup.

Baca Juga: Proses Hukum Dinilai Lambat, Bareskrim Polri Didesak Awasi Kasus Kerangkeng Manusia di Langkat

"(Pelaku pelecehan seksual) melakukannya kan tidak di depan publik sehingga sulit untuk mencari alat bukti lain. Karena minimal di persidangan harus membawa dua alat bukti," ujar Asep dalam Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Senin (4/4/2022).

Asep mengatakan bahwa saksi yang ada dalam kasus pelecehan seksual kebanyakan hanya satu yakni korban itu sendiri.

Selain itu, faktor relasi kuasa dalam hal ini dosen dan mahasiswa juga membuat pembuktian semakin sulit.

"Inilah mengapa kita bisa memahami para korban-korban baik aktivis, mahasiswa, dosen atau siapapun, pembuktian di pengadilan susah. Makanya harus ada dari penyidik dan penuntut untuk meyakinkan hakim bahwa alat bukti tidak hanya korban," lanjutnya.

Semantara itu, Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Chatarina Muliana Girsang mengatakan hal senada.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kemendibudrisrtek, kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi berbeda dengan kasus yang tejadi di PAUD, SD, SMP atau SMA.

"Jadi bentuknya hampir semua tidak sampai perkosaan atau persetubuhan. Tapi kita lihat kasus yang mencuat di sekolah dasar dan menengah itu sampai persetubuhan jadi pembuktiannya jauh lebih mudah karena bisa dengan visum," kata Chatarina.

Perkara itulah, lanjut Chatarina, yang akan diatur dalam (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Baca Juga: Kasus Dugaan Pencabulan Mahasiswi di UNRI : Syafri Harto Divonis Bebas, LBH Ungkap Kekecewaan

"Satgas nantinya bertugas dalam dua hal, pencegahan dan penanganan. Dari sisi pencegahan, bagaimana kita membangun budaya untuk kesetaraan gender, menghormati hak orang lain, menghargai hak-hak perempuan," ujar dia.

"Dalam penangananan, kami akan melakukan pengembangan kapasitas dan pengetahuan untuk berpihak kepada korban," lanjutnya.

Selain itu, Catharina berharap pihak perguruan tinggi lebih memperhatikan lingkungan kampusnya.

"Jangan sampai ruang dosen dibuat tertutup sampai tidak ada jendela, yang kedua kalau memungkinkan bimbingan jangan di ruang dosen tapi tetap dilingkungan kampus dan harus di jam kantor," ucap Catharina.

Penulis : Dian Nita Editor : Purwanto

Sumber : Kompas TV


TERBARU