> >

Epidemiolog UGM Sebut Masker dan Vaksin Lebih Penting daripada Tes PCR

Update | 31 Oktober 2021, 16:54 WIB
Ilustrasi pemeriksaan Covid-19 dengan tes PCR. Penggunaan masker, vaksin, dan sirkulasi udara yang baik pada perjalanan domestik lebih penting daripada tes polymerase chain reaction (PCR). (Sumber: Kompastv/Ant)

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Penggunaan masker, vaksin, dan sirkulasi udara yang baik pada perjalanan domestik lebih penting daripada tes polymerase chain reaction (PCR).

Hal itu disampaikan oleh epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), dr Bayu Satria Wiratama, seperti dilansir laman resmi UGM, 26 Oktober 2021.

“Jadi, tidak perlu dengan PCR. Belum lagi nanti ada permainan surat antigen atau PCR palsu yang hanya akan menguntungkan finansial para pembuat suratnya. Sekali lagi paling penting di perjalanan domestik itu masker, vaksin dan sirkulasi udara yang baik serta bisa jaga jarak," paparnya.

Baca Juga: Kemenkes akan Tindak Tegas RS dan Lab yang Tidak Ikuti Aturan Baru Tarif RT-PCR

Epidemiolog UGM tersebut juga mengaku sejak awal tidak setuju penggunaan antigen atau PCR sebagai syarat perjalanan menggunakan moda transportasi apa pun.

Dia berpendapat, penggunaan antigen/PCR tidak efektif jika hanya digunakan satu kali pemeriksaan tanpa indikasi apa pun, misalnya indikasi kontak erat.

Dia bahkan menyebut penggunaan tes PCR sebagai syarat perjalanan tersebut adalah langkah yang sia-sia.

“Jadi, bagi saya itu langkah sia-sia dan selama ini satgas tidak pernah juga melakukan evaluasi atau studi untuk membuktikan bahwa penggunaan antigen/PCR itu efektif mencegah penularan lintas daerah," lanjut dokter Bayu seperti dikutip KOMPAS TV, Minggu (31/10/2021).

Dia juga menyebut bahwa kebijakan semacam ini tidak ditemui di negara lain untuk perjalanan domestik di dalam negeri.

Dia berpendapat, hasil PCR/antigen negatif tidak menjamin seseorang tidak sedang terinfeksi. Terlebih pemeriksaan hanya dilakukan sekali tanpa indikasi dinilai lemah efektivitasnya.

“Karenanya yang lebih penting adalah vaksin dan memakai masker serta sirkulasi udara yang baik," tegasnya.

Sebagai solusi, dia menyarankan perlu mempertimbangkan kembali aturan tersebut. Bahkan, jika perlu aturan menggunakan PCR/antigen tersebut dicabut, dan dilakukan evaluasi mengenai efektif atau tidaknya.

Baca Juga: Masa Berlaku Hasil Tes PCR untuk Perjalanan Kereta Api Jarak Jauh Kini Menjadi Maksimal 3x24 Jam

Dalam pandangannya pemerintah Indonesia sering kali membuat kebijakan tanpa dilandasi alasan ilmiah yang kuat.

Kalaupun kemudian ingin mengurangi jumlah penumpang sebaiknya kembali saja dengan aturan pembatasan kapasitas.

PCR disebutnya tidak menjamin tidak ada penularan.

Apalagi untuk perjalanan jarak jauh disiplin pemakaian masker sangat diharuskan. Kapasitas penumpang 50 – 75 persen dengan diatur jarak antar penumpang, dan menyediakan ruangan khusus untuk makan yang terpisah dari tempat duduk (khusus moda kereta api).

“Dengan cara-cara seperti itu saya kira sudah cukup membantu. Hal itu perlu saya sampaikan sebab penelitian di Indonesia sampai saat ini masih kurang membahas mengenai sebenarnya seberapa besar risiko tertular di transportasi publik. Karena kembali lagi pemegang datanya tidak mau melakukan evaluasi soal itu," terangnya.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Gading-Persada

Sumber : ugm.ac.id


TERBARU