> >

Jaksa Agung Ingin Koruptor Dihukum Mati, ICW Singgung Pinangki: Tuntutan Hukumannya Sangat Rendah

Hukum | 29 Oktober 2021, 21:10 WIB
Kolase Jaksa Pinangki dengan Djoko Tjandra. (Sumber: Kolase Tribunkaltim/istimewa dan Kompas.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Indonesia Corruption Watch (ICW) menanggapi dengan pesimis rencana Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk memberikan tuntutan hukuman mati pada koruptor. ICW menyinggung hukuman rendah bagi Jaksa Pinangki.

ICW menilai, kurangnya komitmen di antara aparat penegak hukum untuk menindak para koruptor selama ini.

"Apakah sudah menggambarkan situasi yang ideal untuk memberikan efek jera kepada koruptor? Faktanya, belum, bahkan, masih banyak hal yang harus diperbaiki," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya pada Jumat (29/10/2021).

Menurut Kurnia, kurangnya komitmen pemberantasan korupsi ini pun terjadi dalam internal Kejaksaan Agung sendiri.

Baca Juga: MAKI soal Usulan Jaksa Agung Hukum Mati Koruptor: Jangan Hanya Lips Service

Hal ini terbukti dalam penuntutan kasus suap, pencucian uang dan mufakat jahat Jaksa Pinangki Sirna Malasari dengan Djoko Tjandra.

"Misalnya, (kasus) Pinangki Sirna Malasari. Saat itu, Kejaksaan Agung menuntut Pinangki dengan hukuman yang sangat rendah. Dari sana saja, masyarakat dapat mengukur bahwa Jaksa Agung saat ini tidak memiliki komitmen untuk memberantas korupsi," ujar Kurnia.

Seperti diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut pinangki dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.

Hakim kemudian memberikan vonis hukuman lebih tinggi, yaitu 10 tahun penjara dan denda Rp600 juta. Akan tetapi, Pinangki malah mendapat "diskon" hukuman dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Pemberian diskon bagi narapidana korupsi itu juga disoroti ICW. Menurut Kurnia, fenomena itu sering terjadi.

“Fenomena diskon untuk hukuman bagi para koruptor masih sering terjadi. Dalam catatan ICW, hukuman penjara saja masih berada pada titik terendah, yakni rata-rata 3 tahun 1 bulan untuk tahun 2020," jelas Kurnia.

Tak cuma itu, Kurnia pun menyebut aparat negara selama ini belum bisa memulihkan kerugian keuangan negara akibat korupsi.

"Bayangkan, kerugian keuangan negara selama tahun 2020 mencapai Rp56 triliun, akan tetapi uang penggantinya hanya Rp19 triliun," beber Kurnia.

Sebab itu, Kurnia menilai wacana hukuman mati dari Jaksa Agung ST Burhanuddin tersebut hanya merupakan jargon politik.

Baca Juga: Setelah MA Kabulkan Permohonan Uji Materi Terpidana Kasus Korupsi, Koruptor Kembali Dapat Remisi

"Hukuman mati bagi pelaku korupsi sering kali dijadikan jargon politik bagi sejumlah pihak, entah itu Presiden atau pun pimpinan lembaga penegak hukum (misalnya, Ketua KPK atau Jaksa Agung) untuk memperlihatkan kepada masyarakat keberpihakannya terhadap pemberantasan korupsi," papar Kurnia.

Menurutnya, apa yang direncanakan dan selalu dikaji untuk menjatuhkan tuntutan hukuman mati kepada koruptor itu tidak sesuai dengan realita.

"Padahal, kalau kita berkaca pada kualitas penegakan hukum yang mereka lakukan, hasilnya masih buruk. Jadi, apa yang diutarakan tidak sinkron dengan realita yang terjadi," katanya.

Oleh sebab itu ICW beranggapan, para penegak hukum, termasuk Kejaksaan Agung harusnya terlebih dahulu memperbaiki kualitasnya.

"Maka dari itu, lebih baik perbaiki saja kualitas penegakan hukum, ketimbang menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tidak menyelesaikan permasalahan," tukas Kurnia.

Selain itu, Kurnia menyinggung keefektifan pemberian tuntutan hukuman mati tersebut.

"Apakah hukuman mati adalah jenis pemidanaan yang paling efektif untuk memberikan efek jera kepada koruptor sekaligus menekan angka korupsi di Indonesia?" ujarnya.

Menurut Kurnia, efek jera bagi koruptor dapat dicapai dengan penerapan hukuman kombinasi, yaitu hukuman badan dan pemiskinan.

"Bagi ICW, pemberian efek jera akan terjadi jika diikuti dengan kombinasi hukuman badan dan pemiskinan koruptor, mulai dari pemidanaan penjara, pengenaan denda, penjatuhan hukuman uang pengganti, dan pencabutan hak politik. Bukan dengan menghukum mati para koruptor," tegasnya.

Baca Juga: Habiburokhman: Nggak Perlu Ribut KPK, Kami DPR juga Sering Rapat di Hotel Bintang 5

 

Penulis : Ahmad Zuhad Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU