> >

Selandia Baru Batalkan Rencana Pajak Buang Angin Hewan Ternak untuk Tekan Emisi Gas Buang

Kompas dunia | 12 Juni 2024, 07:40 WIB
Ilustrasi sapi perah. Pemerintah Selandia Baru hari Selasa, 11/6/2024, mengumumkan pembatalan skema untuk menetapkan harga emisi gas rumah kaca dari hewan ternak, mengakhiri rencana pajak yang disebut "pajak buang angin", baik buang angin melalui mulut maupun ujung saluran pencernaan. (Sumber: Pixabay/Public Domain Pics)

WELLINGTON, KOMPAS.TV - Pemerintah Selandia Baru yang berhaluan kanan-tengah, hari Selasa (11/6/2024), mengumumkan pembatalan skema untuk menetapkan harga emisi gas rumah kaca dari hewan ternak. Pembatalan skema itu  mengakhiri rencana pajak yang disebut "pajak buang angin", baik buang angin melalui mulut maupun ujung saluran pencernaan hewan ternak.

Undang-undang baru akan diperkenalkan ke Parlemen pada bulan Juni ini untuk menghapus sektor pertanian dari rencana penentuan harga emisi yang baru, seperti laporan Straits Times, Selasa, 11/6/2024.

"Pemerintah bertekad untuk memenuhi kewajiban perubahan iklim kami tanpa menutup lahan pertanian Kiwi," kata Menteri Pertanian Todd McClay.

"Tidak masuk akal untuk mengirim pekerjaan dan produksi ke luar negeri, sementara negara-negara yang kurang efisien dalam hal karbon memproduksi makanan yang dibutuhkan dunia."

Ekonomi Selandia Baru didorong oleh pertanian, dengan sekitar 10 juta sapi dan 25 juta domba berkeliaran di padang rumput negara itu.

Kurang lebih  setengah emisi Selandia Baru berasal dari pertanian, dengan sapi menjadi "tersangka utama" emisi gas buang

Buang angin sapi, baik sendawa dari mulut maupun kentut, mengeluarkan gas metana, sementara urin ternak menyebabkan nitrous oksida bocor ke atmosfer.

Pemerintahan sebelumnya, yang kiri-tengah, menargetkan hewan ternak dalam upayanya untuk mencapai emisi gas rumah kaca bersih net-zero pada tahun 2050.

Baca Juga: Balasan Balon Sampah, Korea Selatan Siarkan Enaknya Demokrasi ke Korea Utara via Pengeras Suara

Ilustrasi sapi ternak. Pemerintah Selandia Baru hari Selasa, 11/6/2024, mengumumkan pembatalan skema untuk menetapkan harga emisi gas rumah kaca dari hewan ternak, mengakhiri rencana pajak yang disebut "pajak buang angin", baik buang angin melalui mulut maupun ujung saluran pencernaan. (Sumber: Unsplash/gang coo)

Namun, rencana untuk memajaki emisi hewan ternak, yang diumumkan oleh mantan Perdana Menteri Jacinda Ardern pada tahun 2022, memicu protes di seluruh negeri oleh para petani yang khawatir akan mengurangi keuntungan.

Pemerintah kanan-tengah baru, yang berkuasa pada akhir 2023, menyatakan akan menghapus pertanian, pengolahan ternak, dan perusahaan pupuk dari skema penetapan harga emisi, yang dijadwalkan akan dimulai pada 2025.

Mereka ingin membantu petani mengurangi emisi melalui teknologi tanpa mengurangi produksi atau ekspor, kata menteri pertanian.

Sebuah "kelompok pastoral" baru akan dibentuk untuk menangani emisi metana biogenik di sektor tersebut, tambahnya. Para petani menyambut keputusan tersebut.

Tetapi kelompok lingkungan menyalahkan pemerintah, yang juga mengumumkan rencana akhir pekan lalu untuk membatalkan larangan lima tahun terhadap eksplorasi minyak dan gas baru.

"Dari menuangkan minyak, batu bara, dan gas ke api krisis iklim, pemerintah sekarang menempatkan separuh dari emisi kami yang berasal dari pertanian ke dalam keranjang masalah-masalah pelik yang muncul dari industri," kata pemimpin bersama Greens, Chloe Swarbrick.

Greenpeace menuduh pemerintah Selandia Baru "perang terhadap alam". "Dalam beberapa hari terakhir, pemerintah koalisi dengan jelas menunjukkan bahwa industri yang paling mencemari, yaitu industri susu dan eksplorasi minyak dan gas baru, bebas untuk memperlakukan atmosfer kita seperti gotong royong terbuka," kata juru bicara Greenpeace, Niamh O'Flynn.

Pada akhir pekan, ribuan orang juga melakukan protes di kota-kota terbesar Selandia Baru menentang rencana pemerintah baru untuk membiarkan proyek infrastruktur besar melewati beberapa regulasi lingkungan.

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Straits Times


TERBARU