YOGYAKARTA, KOMPASTV - Jika anda berpikir bahwa profesi sebagai peneliti seolah didominasi saintis dari negara-negara barat dan kebanyakan dari mereka adalah lelaki bisa jadi ada benarnya.
Begitu banyak hambatan bagi peneliti dari negara-negara bukan barat terutama perempuan untuk bisa bersaing di level internasional.
Penelitian dan perkembangan sains berdampak pada seluruh umat manusia. Namun sayangnya, begitu banyak hambatan bagi para peneliti yang berasal dari negara berkembang untuk mendapat pengakuan secara luas dan bersaing dengan peneliti dari negara maju.
Dalam Lindau Nobel Laureate Meetings atau pertemuan para pemenang nobel dan ilmuwan dari berbagai negara pekan lalu, hal ini jadi salah satu perhatian utama.
Problem uang dan pendanaan juga bukan masalah sepele di dunia penelitian. Harold Varmus pemenang Nobel Fisiologi atau Kedokteran 1989. Belum lagi urusan dokumentasi untuk mengakses kesempatan penelitian di berbagai negara.
Salah satu problem utama negara-negara berkembang di asia adalah adanya tuntutan agar peneliti melakukan penelitian dengan hasil yang bisa segera diimplementasikan menjadi kebijakan.
Padahal, jika ingin menghasilkan penelitian besar para peneliti harus diberi kebebasan dan dukungan melakukan riset yang lebih fundamental.
Di Indonesia, problem-problem ini ditambah lagi dengan sulit dan mahalnya akses terhadap jurnal penelitian yang bermutu.
Belum lagi adanya diskriminasi gara-gara patriarki yang masih banyak dihadapi para peneliti perempuan.
Beragam masalah di dunia penelitian ini bukan semata pekerjaan rumah para peneliti dan kampus mereka. Kemauan politik untuk memajukan sains bisa diterjemahkan menjadi dukungan yang memadai dari pemerintah agar dunia penelitian Indonesia makin bermutu.
Baca Juga: Benarkan Childfree Lebih Bahagia Ketimbang Punya Anak? Begini Penjelasan secara Sains
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.