JAKARTA, KOMPAS.TV - Bulan Ramadan, bulan suci dalam agama Islam, segera tiba. Ini adalah waktu yang dinantikan umat Muslim di seluruh dunia, karena bulan ini membawa berkah, rahmat, dan kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Bulan Ramadan ini, umat Islam akan melaksanakan rukun Islam keempat yaitu berpuasa.
Namun, mungkin masih ada di antara kita yang belum selesai membayar utang (qadha) puasa Ramadan tahun sebelumnya.
Berpuasa pada bulan Ramadan memang wajib dilaksanakan oleh umat Islam yang memenuhi syarat.
Akan tetapi ada orang-orang yang boleh membatalkan puasanya atau tidak berpuasa, tapi wajib mengqada setelah bulan Ramadan.
Beberapa orang yang tidak boleh berpuasa di antaranya orang yang sedang sakit dan ibu yang sedang hamil atau menyusui.
Lantas bagaimana hukumnya bila qada puasa Ramadan tahun lalu belum selesai, sementara Ramadan baru segera tiba?
Baca Juga: Sekum PP Muhammadiyah: Ramadan Jadi Momentum Islah dan Kembali Rukun Pascapemilu
Dilansir dari NU Online, orang yang membatalkan puasanya demi orang lain seperti ibu menyusui atau ibu hamil, dan orang yang menunda qada puasanya karena kelalaian hingga Ramadan tahun berikutnya tiba, mendapat beban tambahan.
Mereka wajib membayar fidyah di samping mengqada puasa yang pernah ditinggalkannya
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh M Nawawi Banten berikut:
والثاني الإفطار مع تأخير قضاء) شىء من رمضان (مع إمكانه حتى يأتي رمضان آخر) لخبر من أدرك رمضان فأفطر لمرض ثم صح ولم يقضه حتى أدركه رمضان آخر صام الذي أدركه ثم يقضي ما عليه ثم يطعم عن كل يوم مسكينا رواه الدارقطني والبيهقي فخرج بالإمكان من استمر به السفر أو المرض حتى أتى رمضان آخر أو أخر لنسيان أو جهل بحرمة التأخير. وإن كان مخالطا للعلماء لخفاء ذلك لا بالفدية فلا يعذر لجهله بها نظير من علم حرمة التنحنح وجهل البطلان به. واعلم أن الفدية تتكر بتكرر السنين وتستقر في ذمة من لزمته.
Artinya: Kedua (yang wajib qadha dan fidyah) adalah ketiadaan puasa dengan menunda qada puasa Ramadan (padahal memiliki kesempatan hingga Ramadan berikutnya tiba. Hal itu berdasarkan hadis: “Siapa saja mengalami Ramadan, lalu tidak berpuasa karena sakit, kemudian sehat kembali dan belum mengqadanya hingga Ramadhan selanjutnya tiba, maka ia harus menunaikan puasa Ramadan yang sedang dijalaninya, setelah itu mengqada utang puasanya dan memberikan makan kepada seorang miskin satu hari yang ditinggalkan sebagai kaffarah” (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).
Di luar kategori “memiliki kesempatan” adalah orang yang senantiasa bersafari (seperti pelaut), orang sakit hingga Ramadhan berikutnya tiba, orang yang menunda karena lupa, atau orang yang tidak tahu keharaman penundaan qadha. Tetapi kalau ia hidup membaur dengan ulama karena samarnya masalah itu tanpa fidyah, maka ketidaktahuannya atas keharaman penundaan qada bukan termasuk uzur. Alasan seperti ini tak bisa diterima, sama halnya dengan orang yang mengetahui keharaman berdehem (saat shalat), tetapi tidak tahu batal salat karenanya. Asal tahu, beban fidyah itu terus muncul seiring pergantian tahun dan tetap menjadi tanggungan orang yang yang berutang, sebelum dilunasi (Syekh M Nawawi Banten, Kasyifatus Saja ala Safinatin Naja, Surabaya, Maktabah Ahmad bin Sa‘ad bin Nabhan, tanpa tahun, halaman 114).
Dari penjelasan Syekh Nawawi Banten, kita dapat mengetahui apakah puasa yang belum diganti hingga tiba bulan Ramadan berikutnya disebabkan oleh sakit, lupa, atau karena sengaja menunda-nunda.
Jika disebabkan oleh kelalaian, seseorang harus mengganti puasanya (qada) dan membayar fidyah sebesar satu mud untuk setiap hari puasa yang masih belum diganti.
Satu mud, menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, setara dengan 543 gram. Sedangkan menurut Hanafiyah, satu mud setara dengan 815,39 gram dari bahan makanan pokok seperti beras dan gandum.
Baca Juga: Ramadan 2024 Diprediksi 5 Hari Lagi, Kapan Batas Waktu Qada atau Mengganti Utang Puasa?
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.