Dalam membersihkan media bekas digunakan untuk mengolah daging babi apakah berlaku sama dengan mencuci wadah bekas jilatan anjing?
Sebagian ulama ada memang yang menyamakan najis kulit babi dengan air liur anjing, dimana penyuciannya pun sama yaitu dicuci sebanyak tujuh kali serta mencampurnya dengan tanah.
Imam An-Nawawi rahimahullah, salah satu ulama besar madzhab Asy- Syafi’i menyatakan,
“Sesuatu yang menjadi najis karena terkena bagian dari anjing, maka dicuci sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Yang tampak, harus dengan tanah (tidak boleh diganti dengan yang lain). Dan babi sama seperti anjing” (Al Minhaj 1/13, Maktabah Syamilah)
Adapun mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bahwa najis babi tidaklah disamakan dengan najis air liur anjing.
Dalam sebuah hadits lain dijelaskan,
Dari Abu Tsa'labah Al Khusyani radhiyallahu'anhu, ia bertanya pada Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam,
“Kami bertetangga dengan Ahli Kitab, mereka memasak babi di panci-panci mereka, dan meminum khamar di wadah-wadah mereka. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika kalian dapatkan selainnya maka gunakanlah (wadah itu) untuk makan dan minum. Jika kalian tidak mendapatkan selainnya, maka cucilah wadah (mereka) dengan air, lalu makan dan minumlah (dengan wadah tersebut).” (HR. Abu Daud, no. 3839; Al-Baihaqi, 1: 33. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Kemudian syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan juga menjelaskan, "Berbilangnya pencucian (hingga tujuh kali) hanya khusus untuk najis air liur anjing dan tidak bisa diqiyaskan dengan najis lainnya, seperti babi. Karena ibadah bersifat tauqifiyyah (berdasarkan Al Quran dan As Sunnah). Ini adalah masalah yang tak dapat dijangkau oleh akal dan qiyas. Tidak terdapat keterangan pada selain najis anjing, berbilangnya proses pencucian. Babi telah disebutkan di dalam Al Quran dan sudah ada di zaman Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam. Namun tidak terdapat keterangan yang menyamakannya (dengan anjing). Oleh karena itu, status najis babi adalah sama dengan najis lainnya. Adapun najis lainnya (selain anjing), maka yang wajib adalah dicuci sekali yang menghilangkan dzat najis dan bekasnya. Jika belum hilang, maka bisa diulangi, sampai hilang bekasnya, meskipun sampai lebih dari tujuh kali. Baik yang dicuci itu adalah tanah, pakaian, alas tidur dan wadah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam,
"Jika (pakaian) salah satu di antara kalian terkena darah haid, maka percikilah dengan air, lalu dicuci, setelah itu silahkan gunakan untuk shalat." (HR. Bukhari no.277 dan Muslim no.291).
Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk dicuci dengan bilangan tertentu. Jika beliau menghendakinya, maka tentu akan beliau sebutkan sebagaimana dalam hadist air liur anjing. Karena tujuannya adalah hilangnya najis, maka jika najis hilang, hilang pula status (hukum) najisnya." (Minhatul'Allaam fi Syarhi Bulughil Maraam, 1/55)
Demikian Rasulullah menunjukan bahwa yang utama adalah dengan menghindarinya (makan dari wadah Ahli kitab) namun jika tak memungkinkan maka diperintahkan untuk mencucinya hingga najisnya hilang.
Wallahu a’lam bish-shawab
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.