KOMPAS.TV. MERAUKE - Gemuruh tepuk tangan terdengar di ruangan Kayi A pada Selasa (30/01/2023) siang, tampak juga senyuman dari empat belas rekan Jurnalis yang mengakhiri ketegangannya usai mendengar pengumuman hasil Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang diumumkan oleh salah seorang penguji dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Andi Faisal Syam.
“Dari lima belas wartawan yang mengikuti UKW tidak ada yang lulus, namun semuanya kompeten,” sepenggal kalimat yang sempat saya kutip dari sambutan penguji asal PWI Sulawesi Selatan itu.
Satu hari sebelumnya hingga hasil diumumkan, hampir tak ada senyum terpancar dari lima belas wartawan Papua Selatan yang sedang mengikuti Uji kompetensi.
Bagi jurnalis Papua Selatan, momentum ini merupakan kesempatan yang langka, pasalnya ini merupakan UKW pertama yang digelar di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Terlebih UKW kali ini digelar secara gratis berkat dukungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bekerjasama dengan PWI.
Sebelum UKW sokongan BUMN digelar, jumlah jurnalis yang sudah dinyatakan kompeten di Papua Selatan masih bisa dihitung jari, jika dirata-ratakan baru sepertiga jurnalis yang telah mengikuti UKW. Minimnya jumlah ini bukan karena sikap tidak peduli untuk menjadi wartawan kompeten. Namun, kesempatan dan kemampuan finansial menjadi faktor utama bagi sebagian besar jurnalis yang berada di ujung timur Indonesia ini.
Selama ini informasi soal uji kompetensi yang digelar oleh berbagai organisasi jurnalis di luar Papua Selatan, maupun seputar wilayah Papua selalu diterima jurnalis, namun hanya sebagian kecil saja yang berangkat untuk mengikuti uji kompetensi.
Para jurnalis bukan tidak menganggap penting arti dan tujuan UKW, namun besarnya biaya yang harus dikeluarkan menjadi kendala utama untuk menguji kemampuannya di bidang yang digeluti.
Hendrikus Petrus Resi adalah seorang wartawan di Merauke yang telah menjalani aktivitas jurnalistik selama kurang lebih lima belas tahun. Ketika saya menanyakan mengapa dirinya baru mengikuti UKW? hanya dijawab singkat. “Baru kali ini dilaksanakan di Merauke.”
Menurut pria yang memulai aktivitas sebagai wartawan pada Tahun 2009 ini, waktu dan biaya menjadi faktor utama yang menghambat dirinya sehingga baru dapat mengikuti UKW pada tahun ini. Dia menyebut meski melewatkan mengikuti kesempatan UKW di luar Merauke selama ini, namun tak sedikitpun impiannya luntur untuk mengikuti ujian menjadi wartawan berkompeten.
“Kalau mau berangkat dengan biaya sendiri rasanya sungguh berat, belum lagi soal waktu,” ujar pria yang akrab disapa dengan panggilan bang Hendrik.
Tak jauh berbeda dengan persepsi Hendrik, Nuriani seorang jurnalis perempuan yang sudah menggeluti profesi jurnalis sejak 2004 ini juga menyatakan hal serupa. Ia membeberkan bahwa selama ini tak mengikuti uji kompetensi karena dilakukan di luar Merauke.
Tugas dan tanggungjawab yang diembannnya membuat dirinya tak bisa berpergian untuk jangka waktu yang lama karena harus mengurusi keluarga di rumah. Perempuan yang telah dua puluh tahun menjadi jurnalis ini sangat mendambakan mengikuti uji kompetensi wartawan bahkan sejak baru menggeluti profesi ini.
“Tidak bisa tinggalkan keluarga kalau UKW nya diadakan di luar Merauke. Saya harus urus keluarga di rumah,” ujar perempuan yang telah dikaruniai empat orang anak ini.
“Sampai kapanpun saya akan ikut, asal UKW diselenggarakan di Merauke,” tambahnya.
Hampir sama halnya dengan saya, meski masih tergolong muda dalam profesi ini keinginan untuk mendapat predikat kompeten menjadi salah satu prioritas ketika saya memulai secara resmi aktivitas ini di media Kompas TV sejak empat tahun lalu.
Suasana Di Ruangan Uji Kompetensi
Tidak seperti hari biasanya, Senin (29/01/2024), saya bangun lebih pagi. Setelah mandi dan sarapan segelas teh panas dan dua butir telur rebus, selanjutnya kuraih tas yang berisi segala keperluan yang telah kusiapkan sejak malam kemarin, lalu segera beranjak menuju ke Hotel Swiss-bell.
Ya, hari yang kami tunggu dan sekaligus mendebarkan telah tiba. Hari itu merupakan hari pertama Uji Kompetensi Wartawan Muda. Sebelum dinyatakan lolos berkas untuk mengikuti ujian saja kami dibuat panik karena harus mengirim berkas pendaftaran secara online kepada panitia di Jayapaura. Sejumlah berkas pertama yang kami siapkan untuk dibawa oleh PLT ketua PWI Papua Selatan Agustinus Kowo, ternyata masih banyak kekurangan setelah diperiksa oleh panitia.
Kami diminta mengirimkan dokumen yang dianggap belum lengkap secara daring, hal itu sebenarnya bukan hal yang sulit, hanya saja pada saat yang bersamaan jaringan internet di Merauke lumpuh akibat kerusakan kabel optik bawah laut. Tapi kami beruntung panitia memaklumi hal tersebut dan memberikan toleransi hingga kami dinyatakan layak mengikuti uji kompetensi.
Seingatku, saat itu baru pukul 6.30 Waktu Indonesia Timur, meski masih terlalu awal saya memilih untuk tiba lebih cepat. Maklum sehari sebelumnya kami disampaikan bahwa satu diantara penilaian kelulusan adalah disiplin dengan tidak terlambat saat mengikuti ujian.
Setelah kurang lebih lima belas menit berkendara dengan roda dua, saya tiba di gerbang hotel, sekuriti hotel berseragam hitam mengarahkanku menuju ke bagian belakang hotel untuk memarkirkan kendaraan. Karena masih pagi, pikirku aku akan menjadi peserta pertama yang tiba di tempat ujian.
Tiba di parkiran, saya sontak tersenyum. Saya salah, ada yang lebih cepat. Ada dua motor jenis bebek dan skuter matik yang telah parkir terlebih dahulu, keduanya kukenali tanpa perlu melihat nomor polisinya. Itu milik dua rekan jurnalis yang juga ikut uji kompetensi yang pertama digelar di Papua Selatan.
Setelah memarkirkan kendaraan, saya segera menuju ke ruangan ujian. Lantai dua ruangan Kayi A. Begitu memasuki ruangan, kedua teman yang tiba lebih dulu menyambutku dengan senyum, lalu kembali menatap layar ponselnya. Kutebak mereka sedang membaca kode etik jurnalis atau Undang-undang Pers.
Saat pra UKW sehari sebelumnya, kami diminta mempelajari Kode Etik Jurnalis dan Undang-Undang Pers, walau sudah lama menjalani profesi ini namun baru kali ini kami benar-benar mempelajari hal tersebut.
“Kalo sa baca macam su ingat semua, tapi kalo su tutup hape su tra ingat apa-apa lagi,” ucapku dengan logat Merauke untuk menyapa sekaligus menarik perhatian kedua teman yang tiba lebih dulu.
Keduanya kembali menoleh ke arahku dan kompak menyebut “sama” lalu kami tertawa sejenak sebelum aku juga membuka ponsel dan kembali membaca materi-materi terkait profesi kewartawanan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.