JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemerhati Anak dan Pendidikan Retno Listyarti menilai ada pembiaran dari pihak pemerintah daerah (pemda) dalam kasus pemerkosaan anak di bawah umur oleh 11 orang di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Pasalnya, berdasarkan data yang ia terima, anak yang menjadi korban ini bekerja di sebuah warung yang diduga lokasi prostitusi.
"Ini anak yang harusnya dilindungi, justru pemda ini di mana? Kok anak ini sampai mencari nafkah sendiri?" tanyanya dalam program Kompas Petang, Kompas TV, Rabu (31/5/2023).
Retno mengatakan, berdasarkan informasi dari rekan-rekannya di daerah, korban terjebak dalam kondisi yang memaksanya untuk bekerja.
Ia menyebut, korban merupakan anak dari orang tua yang diduga berpisah dan mengakibatkan sang anak seperti hidup sendiri.
"Diduga kedua orangtuanya berpisah. Lalu anak ini seperti hidup sendiri. Nah dia ini bekerja untuk menafkahi hidupnya," ujarnya.
Baca Juga: Pemerhati Anak Tolak Istilah Persetubuhan dalam Kasus Pemerkosaan Remaja oleh 11 Orang di Sulteng
Ia pun mengkritik peran pemda, khususnya dinas pendidikan, yang seolah melakukan pembiaran atas kondisi korban yang masih sekolah.
"Kalau pun kemudian ini tidak diketahui oleh pemerintah daerah, harusnya pihak sekolah, berarti dinas pendidikan, mestinya tahu sederet ini, karena anak ini masih sekolah," kata Retno.
"Jadi harusnya tahu, ada anak, yang karena orangtuanya berpisah bukan meninggal, tapi kemudian dia harus membiayai hidupnya sendiri. Kan berarti anak ini rentan dieksploitasi, rentan dalam bahaya, lalu di mana pemerintah desa, pemda?" ucapnya.
Ia pun mendesak pemerintah memberikan bantuan terhadap korban, terutama pengobatan psikologis.
Korban pun juga mengalami masalah pada alat reproduksinya, sehingga menurut Retno perlu pengobatan jangka panjang.
Dari sisi pemulihan psikologi korban, kata dia, korban mestinya mendapatkan bantuan berupa Kartu Indonesia Pintar dan Program Keluarga Harapan dari pemerintah.
"Ke depan, saya rasa, anak ini perlu dipikirkan bagaimana dia melanjutkan hidup," ujarnya.
Ia pun menyarankan adanya pengasuhan pengganti bagi korban yang diduga tak mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya.
Baca Juga: Polisi Kembali Tangkap 2 Tersangka Pemerkosaan terhadap Remaja 15 Tahun di Sulteng, 3 Masih Buron
"Menurut saya penting pengasuhan pengganti, atau satu dari dua orangtuanya siapa yang mau merawat dia, mau memastikan itu, kalau pun tidak, maka ada pengasuhan pengganti, 3 derajat keluarganya, itu yang harusnya dilakukan sekarang oleh pemda," ujarnya.
Ia pun mengajak publik untuk berempati dan tak menghakimi korban yang masih di bawah umur.
"Anak kok mau diginiin? Ya karena tadi, dia masih anak-anak, dia belum dewasa, jadi yang perlu kita bangun sekarang adalah membangun empati bersama," tegasnya.
"Yang salah adalah pelaku, anak ini harus kita lindungi bersama," pungkasnya.
Baca Juga: Remaja Korban Pemerkosaan oleh 11 Pelaku di Sulteng Segera Operasi Pengangkatan Rahim
Sebagaimana diberitakan KOMPAS.TV sebelumnya, seorang anak perempuan di bawah umur di Sulteng disetubuhi oleh 11 orang di tempat dan pada waktu yang berbeda-beda sejak April 2022 hingga Januari 2023.
Korban yang saat kejadian masih berusia 15 tahun itu kini mengalami trauma dan dan gangguan reproduksi hingga mengharuskannya melakukan operasi pengangkatan rahim.
Kini polisi telah menangkap 7 dari 11 terduga pelaku kejahatan seksual terhadap anak di Sulteng ini.
Korban mengaku diperkosa 11 pelaku yang terdiri dari beragam profesi, termasuk kepala desa, guru, polisi, dan mahasiswa.
Lima tersangka yang telah ditahan, yakni HR (43) yang merupakan kepala desa, ARH (40) yang merupakan guru sekolah dasar, AK (47) wiraswasta, AR alias R (26) petani, dan MT alias E (36) pengangguran.
Kemudian, hari ini, Rabu (31/5/2023) polisi kembali menangkap dua orang pelaku yang terdiri dari FN (22) mahasiswa dan KA (32) yang bekerja sebagai petani.
Sementara itu, tiga pelaku, yakni AW, AS, dan AK hingga kini masih buron.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.