YOGYAKARTA, KOMPAS.TV- Untuk pertama kali, Act For Farmed Animals dan We Animals Media mengungkap kondisi buruk perihal budidaya ikan, penjagalan ikan, dan penjualan ikan di Indonesia.
Act For Farmed Animals merupakan kampanye bersama yang dilakukan oleh NGO Animal Friends Jogja dan Sinergia Animal untuk meningkatkan kesejahteraan hewan di Indonesia, sementara We Animals Media adalah lembaga foto jurnalistik yang menyelidiki industri peternakan.
Dalam temuannya, Act For Farmed Animals kerap mendapati kondisi yang tidak sehat dari budidaya nila, lele dan bandeng. Terlihat ikan yang sakit dan mati sebelum waktunya, serta dibiarkan mengapung di kolam mereka.
Pada Agustus 2018 di Waduk Kedung Ombo, lebih dari 100 ton ikan nila mati. Para ahli mengatakan banyaknya jaring apung di bendungan dan jumlah makanan yang diberikan kepada ikan telah menyebabkan adanya peningkatan bakteri, racun, dan polusi air.
Baca Juga: Omset Penjualan Ikan Hias Naik di Masa Pandemi
Menurut Manajer Program Animal Friends Jogja, organisasi anggota Act For Farmed Animals Angelina Pane, ikan terlihat hidup dalam kolam yang terlihat kotor dan para pembudidaya juga melaporkan adanya tingkat oksigen yang rendah.
“Yang kemungkinan besar ikut menyebabkan masalah ini,” ujarnya dalam siaran pers, Sabtu (16/4/2022).
Di pasar lokal dan tempat budidayanya, investigator menyaksikan beberapa ikan dikuliti dan dipotong saat masih sadar penuh. Ikan-ikan hidup diangkut di atas es ke toko-toko.
Angelina menilai, ini sebuah praktik yang disepakati oleh para spesialis kesejahteraan hewan menyebabkan penderitaan kepada mereka.
Studi ilmiah telah menyimpulkan bahwa es menyebabkan kejutan termal bagi para ikan, sebuah proses yang menyakitkan dan menegangkan yang membuat ikan tetap sadar dan sensitif terhadap rasa sakit untuk waktu yang lama.
“Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa ikan memiliki kapasitas untuk merasakan rasa sakit, ketakutan, dan stress,” ucapnya.
Studi lain juga menunjukkan bahwa ikan adalah hewan yang cerdas, mampu melakukan interaksi, memiliki hierarki sosial dan bahkan merasakan emosi.
Dokter dan ilmuwan hewan juga telah mempelajari banyak cara agar kualitas air, praktik budidaya, dan penjagalan dapat ditingkatkan guna mengurangi penderitaan dan mencegah kondisi tidak manusiawi seperti yang didokumentasikan dalam penyelidikan ini.
“Kami mengundang konsumen Indonesia untuk membantu mengubah kenyataan ini,” kata Angelina.
Perwakilan Sinergia Animal anggota Act For Farmed Animals, Fernanda Vieira menyayangkan ikan kerap dianggap makhluk yang kurang bisa merasakan karena orang-orang cenderung berpikir mereka tidak cukup cerdas atau sensitif.
“Para penjual dan pembudidaya ikan di Indonesia dapat mengadopsi langkah-langkah yang lebih baik yang direkomendasikan oleh para ahli kesejahteraan ikan,” tuturnya.
Selain itu, para aktivis hewan mendesak para ritel untuk menghentikan penjualan ikan hidup-hidup. Ritel besar di Indonesia masih menjual ikan secara hidup-hidup, seringkali tanpa adanya standar kesejahteraan yang memadai.
Baca Juga: Pemkot Siapkan Tempat Penjualan Ikan Di Pasar Modern Rufei Sebelum Diresmikan
Mereka juga masih memelihara ikan dalam tangki kecil di toko mereka, Padahal di dalamnya ikan-ikan hampir tidak bisa berenang dan mungkin mengalami rasa sakit, ketakutan, dan stres.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.