JAKARTA, KOMPAS.TV - Komisioner Komite Nasional (Komnas) Perempuan, Siti Aminah Tardi, berpendapat pernikahan siri akan menempatkan perempuan dan anak yang dilahirkan pada situasi kekerasan.
Aminah mencontohkan kasus kekerasan yang terjadi pada suami istri siri di Cianjur, Jawa Barat, yang mengakibatkan si istri meninggal dunia.
“Sebenarnya pernikahan siri, baik yang dilakukan dengan WNI (warga negara Indonesia) maupun dengan WNA (warga negara Asing) menempatkan perempuan dan anak-anak yang dilahirkan itu pada situasi kekerasan, seperti kekerasan dalam rumah tangga,” tuturnya dalam dialog di Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Senin (22/11/2021).
Peristiwa pembunuhan istri siri di Cianjur oleh suaminya yang merupakan warga negara Arab itu disebutnya sebagai femisida atau pembunuhan terhadap perempuan akibat kekerasan berbasis gender.
Baca Juga: Karakter Suami Penyiram Istri Siri dengan Air Keras Misterius, Gelisah sebelum Kejadian
“Jadi, untuk semua pihak, bahwa perkawinan siri itu merisikokan perempuan dan anak-anak pada kekerasan dalam rumah tangga,” tegasnya.
Sebaiknya, lanjut dia, menikah menggunakan layanan yang disediakan oleh negara, yakni pernikahan yang dilakukan secara prosedural dan tercatat.
Posisi wanita dalam pernikahan siri dikatakannya lebih rentan, karena perkawinan siri secara hukum dianggap tidak ada perkawinan.
“Kepastian hukumnya tidak ada, kemudian ini merentankan perempuan untuk mendapatkan kekerasan,” tuturnya.
Bahkan, perempuan yang menikah siri akan lebih repot untuk mengeklaim keadilan, terlebih jika laki-laki yang menjadi suami sirinya berbeda kewarganegaraan.
Bisa jadi dengan serta merta si suami langsung meninggalkan si perempuan dan pulang ke negaranya.
“Memerlukan waktu dan proses lebih panjang ketika perempuan perkawinan siri mengeklaim keadilan.”
Pada kasus yang menimpa Sarah di Cianjur, dia menyebut bahwa kasus itu merupakan pembunuhan, dan bisa diterapkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Tetapi, pembunuhan terhadap perempuan memiliki dimensi yang berbeda dengan pembunuhan terhadap laki-laki.
Bisa jadi, pembunuhan itu didasarkan kepada konflik rumah tangga, atau puncak dari kekerasan dalam rumah tangga yang dialami korban.
“Betul yang disampaikan Pak Erdi (Kabid Humas Polda Jabar Kombes Erdi A Chaniago), maka penerapannya adalah pasal-pasal penghilangan nyawa. Tapi, background kasus ini adalah perkawinan siri dan kekerasan dalam rumah tangga. Secara normatif, kepolisian, kejaksaan , dan pengadilan akan memeriksa kasus pembunuhannya.”
Meski demikian, bisa dilihat secara lebih komprehensif, bahwa pada kasus pembunuhan itu tidak tiba-tiba seseorang meninggal.
Baca Juga: Istri Siri yang Disiram Air Keras di Cianjur Berdarah Arab, Satu Marga dengan Suami
“Dari sini lah kita bisa memelajari bahwa kekerasan terhadap perempuan itu bisa dicegah dan pemulihannya pun bisa dilakukan. Pencegahannya misalnya dalam konteks ini, adalah sebaiknya perkawinan itu adalah perkawinan yang tercatat.”
Sebelumnya, Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat, Kombes Pol Erdi A Chaniago, mengatakan pada kasus tersebut polisi melihatnya sebagai satu perbuatan pidana yang terjadi.
“Ketika itu diketahui ada satu korban, yang diberitahu informasi dari masyarakat kepada kami bahwa korban tersebut disiram air keras, kemudian mukanya juga lebam,” tuturnya.
Mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Erdi menyebut, pihaknya menyelidiki tentang kasus pembunuhannya.
“Tidak demikian. Kita melihat ada satu korban yang sekujur tubuhnya disiriam air keras, kemudian menimbulkan kematian. Itu yang kita selidiki.”
Pada kasus ini, setelah menerima informasi bahwa terduga pelaku adalah orang terdekat korban, dalam hal ini suami sirinya, polisi segera bergerak untuk mencari.
“Terkait ini warga negara asing, ada kemungkinan-kemungkinan yang bersangkutan langsung melarikan diri. Oleh karena itu kemarin kami langsung menghubungi Polres Bandara apabila yang bersangkutan sudah ada di bandara,” lanjutnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.