JAKARTA, KOMPAS TV - Litbang Kompas menggelar jajak pendapat terkait pendapat publik ihwal revisi Undang-Undang TNI (UU TNI) yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah.
Hasilnya, 69,5 persen atau tujuh dari sepuluh responden khawatir perluasan jabatan TNI ke ranah sipil akan memundurkan proses reformasi yang telah dimulai tahun 1998.
Dikutip dari Kompas.id, Rabu (26/3/2025), sebelum reformasi, militer yang kala itu bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) memiliki dwifungsi.
Keduanya adalah sebagai kekuatan pertahanan serta aktor sosial politik yang aktif dalam pemerintahan. Semangat reformasi berupaya mengembalikan tugas utama militer sebagai alat pertahanan negara dan mengurangi keterlibatannya dalam urusan sipil.
"Dengan konteks tersebut, menjadi tidak mengherankan bahwa publik ingin negara terus berpegang pada semangat reformasi dan demokrasi rakyat. Hasil jajak pendapat menunjukkan 69,5 persen atau tujuh dari sepuluh responden khawatir perluasan jabatan TNI ke ranah sipil akan memundurkan proses reformasi yang telah dimulai tahun 1998," tulis Tim Litbang Kompas.
Baca Juga: Kapuspen TNI Ingatkan Prajurit yang Duduk di 14 Jabatan Sipil: Jangan sampai Bikin Malu
Segala kekhawatiran ini sejalan dengan penilaian perlu atau tidaknya seorang anggota TNI yang masuk ke lembaga sipil harus mundur dari posisinya di TNI. Tak kurang dari 58,8 persen responden menilai seorang anggota TNI yang menjabat di lembaga sipil harus mundur dari posisinya di TNI.
Adanya aksi massa terkait revisi Undang-Undang (UU) TNI mencerminkan resistensi publik yang juga terekam dalam jajak pendapat Kompas pada 17-20 Maret 2025. Hasil survei menunjukkan bahwa 68,6 persen responden khawatir akan potensi tumpang tindih kewenangan jika TNI masuk ke lembaga sipil.
Tingkat kekhawatiran paling tinggi ditemukan pada responden dengan pendidikan tinggi, mencapai 81,5 persen. Sementara itu, di kalangan responden berpendidikan dasar, kekhawatiran terkait potensi tumpang tindih tugas dan fungsi TNI berada di angka 64,5 persen.
Tingginya kekhawatiran responden berpendidikan tinggi dinilai wajar, mengingat kelompok ini umumnya memiliki akses informasi lebih luas dan pemahaman mendalam mengenai isu pengesahan undang-undang.
Selain itu, secara historis, kekhawatiran ini dapat dikaitkan dengan pengalaman masa Orde Baru, ketika pendekatan militer diterapkan secara luas dalam pemerintahan sipil.
Salah satu potensi risiko yang disoroti adalah ketika perwira militer menempati posisi strategis dalam perumusan kebijakan sipil. Hal ini berisiko menimbulkan bias dalam pengambilan keputusan, di mana kebijakan yang seharusnya didasarkan pada prinsip demokrasi dan profesionalisme justru diterapkan dengan pendekatan militeristik yang berorientasi hierarki komando.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.