JAKARTA, KOMPAS TV - Kinerja legislatif yang dinilai kerap mengeluarkan keputusan kontroversial terkait mengusulkan revisi sejumlah undang-undang (RUU) jelang akhir jabatan DPR RI periode 2019-2024 menuai sorotan publik. Misalnya datang dari Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) yang meminta pembahasan legislasi jelang akhir masa jabatan itu dihentikan.
Sejumlah RUU yang disorot seperti RUU Perubahan Keempat UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK), RUU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI), RUU Perubahan Ketiga Atas UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri), RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (RUU Wantimpres), dan RUU tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (RUU Kementerian Negara).
"Kejar tayang legislasi harus kita setop. Padahal, sarana dan prasarana yang dimiliki DPR sangat lengkap tapi legislasi kerap bermasalah, karena ada komponen yang tidak digunakan dengan baik," kata Guru besar hukum tata negara Universitas Jambi Elita Rahmi dalam webinar yang diselenggarakan APHTN HAN, Senin (15/7/2024).
Baca Juga: RUU TNI-Polri, Menko Polhukam Pastikan Tak Ada Dwifungsi ABRI
Menurut dia, fenomena kejar tayang legislasi disebabkan dua faktor yakni internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud di antaranya agenda politik di tahun 2024, rendahnya ketaatan waktu pembahasan UU di DPR, konflik kepentingan partai politik dan pemerintahan.
"Sedangkan faktor eksternal dibutuhkan keselarasan kerja antara DPR, pemerintah, DPD, dan masyarakat," kata Elita.
Dalam kesempatan yang sama Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung Rudy mengatakan realisasi program legislasi nasional (Prolegnas) selama 20 tahun terakhir mengalami stagnasi. Sebab, realisasi Prolegnas hanya di angka 30 hingga 40 persen dari targetnya.
"Seperti Prolegnas Prioritas tahun 2014 sebanyak 69, hanya mampu direalisasi 21 UU. Artinya, ini bukan kejar tayang, tapi agenda rutin yang dilakukan oleh DPR," katanya.
Dia menilai fenomena kejar tayang muncul lantaran tidak ada pola dalam penetapan Prolegnas prioritas tahunan. Di sisi yang lain, terdapat fenomena kompetisi antar kementerian untuk meloloskan UU yang terkait dengan kementerian, termasuk DPR dan DPD.
Dia menyebutkan fenomena kejar tayang legislasi juga karena longgarnya pembentukan UU seperti tidak adanya kewajiban menyelesaikan UU dalam satu tahun.
Lalu, perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga membolehkan pembahasan RUU diserahkan kepada anggota DPR periode selanjutanya.
Sementara itu, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas menjelaskan, pihaknya mengusulkan RUU Kementerian Negara karena berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan.
“Selanjutnya Badan Legislasi telah membentuk Panitia Kerja (Panja) Penyusunan RUU Kementerian Negara serta Badan Legislasi telah melakukan rapat-rapat, yaitu tanggal 14 dan 15 mei 2024,” kata Supratman, Kamis (16/5/2024).
Hal senada dikatakan, Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi membantah pihaknya menyepakati untuk mengusulkan RUU Wantimpres, secara terburu-buru.
Ia menjelaskan proses penyusunan program legislasi nasional (prolegnas) dalam pembahasan UU.
Baca Juga: Respons Ketua DPD La Nyalla soal RUU Wantimpres Jadi DPA
Pertama, mengajukan ke prolegnas prioritas, yang kedua akumulatif terbuka. Ketiga, peraturan pemerintah pengganti UU, yang merupakan akumulatif terbuka lantaran bisa dibahas sewaktu-waktu.
"Tidak ada yang buru buru, terus penyusunan prolegnas pembahasan UU (proses tahapannya) itu ada tiga," kata pria yang karib disapa Awiek kepada wartawan, Jumat (12/7/2024).
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.