JAKARTA, KOMPAS.TV - Pagi itu, Jumat, 30 Mei 1963, cuaca cukup cerah. Kusni dan tiga kawannya masuk ke Museum Nasional Jakarta dengan menyamar sebagai polisi.
“Selamat pagi, Pak,” sapa penjaga loket dengan nada hormat kepada "para polisi" yang menampilkan wajah dingin.
Sebenarnya penjaga loket sedikit heran. Tumben, polisi-polisi ini pagi-pagi sekali sudah tertarik berkunjung ke museum.
Namun ia tidak tertarik untuk menyelidik lebih jauh. Ah, biarlah, batinnya.
Baca Juga: Perampokan Jam Tangan Mewah di PIK: Polisi Akan Periksa Pegawai Toko dan Sekuriti
Di lantai 2, sahabat Kusni, Budi dan Sumali, segera menguasai situasi dengan mengajak bicara seorang petugas jaga.
Sementara Kusni dan Herman langsung menyelinap masuk ke ruangan yang jadi sasaran, yakni Ruang Pusaka.
Ternyata, ruang itu dijaga. Kepalang tanggung, Kusni mencabut pistol dan menodongkannya.
Dengan cepat Kusni segera mendekati lemari pajangan emas dan berlian. Dengan obeng yang paling besar, daun pintu lemari pajangan itu dicongkel.
Tak sulit. Cukup ditekan kanan kiri beberapa kali, lemari sudah terbuka.
Saat itulah kedua petugas jaga baru menyadari, mereka berhadapan dengan perampok.
Setelah berhasil, Kusni dan kawan-kawannya kabur. Sesuai rencana yang telah disepakati, empat orang itu segera meninggalkan jip yang mereka gunakan di pinggir jalan.
Selanjutnya, pelarian mereka menggunakan dua becak, masing-masing memuat dua orang.
Baca Juga: Perampokan Jam Tangan Mewah di PIK 2: Pelaku Pura-Pura Jadi Pembeli dan Kurung Karyawan di Toilet
Di tengah jalan, Kusni membuka hasil rampokannya yang dibungkus kaos kaki bekas.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.