JAKARTA, KOMPAS.TV - Salah satu hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) adalah Enny Nurbaningsih, bersama Saldi Isra dan Arief Hidayat. Enny berpendapat dalil permohonan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
“Dalil permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian, tidak sebagaimana yang dimohonkan Pemohon dalam petitumnya,” kata Enny dalam sidang pembacaan putusan di Gedung I MK RI, Jakarta, Senin (22/4/2024).
Enny meyakini bahwa telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bantuan sosial (bansos) yang terjadi pada beberapa daerah, yaitu Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara.
Baca Juga: Apa Itu Dissenting Opinion? Ini Penjelasannya soal Putusan MK terkait 3 Hakim Punya Pendapat Beda
“Maka untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah,” katanya.
Sosok Enny pun menjadi perbincangan. Apalagi dia adalah satu-satunya hakim MK perempuan, dari sembilan hakim.
Enny memang masuk ke MK menggantikan Maria Farida Indrati sebagai hakim konstitusi perempuan di Indonesia. Wanita kelahiran Pangkal Pinang tersebut terpilih oleh panitia seleksi calon hakim konstitusi setelah melalui seleksi yang ketat.
Perempuan kelahiran Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, tahun 1962 itu, awalnya tidak terpikir untuk menjadi seorang hakim konstitusi.
Mengtutip situs MK, Enny muda sesungguhnya memiliki cita-cita sebagai guru. Baginya, mengajar bukan hanya sebagai sebuah profesi, namun juga sebuah panggilan jiwa. “Mengajar adalah suatu kehidupan yang nikmat sekali buat saya,” ucapnya menggambarkan cita-cita masa mudanya.
Menurut Enny, mengajar tidak hanya bermanfaat dalam mengembangkan dirinya, namun juga dapat memberikan manfaat dan pembelajaran bagi para mahasiswa yang diajarnya. Mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tersebut menuturkan bahwa dengan mengajar, ia dapat menanamkan nilai-nilai yang kuat kepada para mahasiswanya.
Setelah lulus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) 1981, ia pun mengejar mimpinya sebagai pengajar atau dosen di almamaternya.
Baca Juga: Soal Dissenting Opinion 3 Hakim MK di Sengketa Pilpres 2024, Begini Kata Ganjar Pranowo
Tak hanya menjadi seorang pengajar, Enny pun terlibat aktif dalam organisasi yang terkait dengan ilmu hukum yang digelutinya, yaitu ilmu hukum tata negara. Sebut saja, Parliament Watch yang ia bentuk bersama-sama dengan Ketua MK periode 2008 – 2013 Mahfud MD pada 1998 silam.
Pembentukan Parliament Watch dilatarbelakangi oleh kebutuhan pengawasan terhadap parlemen sebagai regulator. “Pada masa reformasi itu, melalui diskusi-diskusi, kala itu kami merasa dibutuhkan organisasi yang berfungsi sebagai watch dog parlemen,” ucap Guru Besar Ilmu Hukum UGM tersebut.
Perjalanan karier Enny di dunia hukum semakin panjang dengan keterlibatannya dalam proses penataan regulasi baik di tingkat daerah hingga nasional. Keseriusan Enny mendalami penataan regulasi dikarenakan ia merasa hal tersebut sangat diperlukan oleh Indonesia. Dari situ, ia pun kerap diminta menjadi narasumber hingga menjadi staf ahli terkait.
Disinggung mengenai keterpilihannya sebagai hakim konstitusi, Enny menyebut tak pernah merencanakannya. Ketika melihat peluang dibukanya posisi hakim konstitusi, ia tertarik untuk mengisi ruang perempuan dalam jajaran hakim konstitusi.
“Menarik juga jika saya bergabung dengan Mahkamah Konstitusi sebagai hakim konstitusi untuk mempraktikkan pengalaman-pengalaman terkait hukum konstitusi dan hukum perundang-undangan. Itu alasan saya untuk ikut mendaftar dalam seleksi hakim konstitusi,” kisahnya.
Terpilih sebagai hakim konstitusi, istri dari R. Sumendro ini menyadari bahwa sebagai seorang hakim konstitusi mengandung arti bekerja dalam sunyi di tengah keramaian.
Ia menyadari tugas hakim konstitusi untuk memutus sebuah perkara berada dalam posisi tegak lurus. Tegak lurus yang Enny maksudkan, yakni tidak boleh ada keberpihakan. Hal inilah yang menyebabkan ruang gerak seorang hakim konstitusi menjadi ‘sempit’ dalam kehidupan sosialnya.
“Apalagi jika di sekitar kita banyak orang yang mengajukan perkara ke MK, maka akan semakin sempit ruang geraknya. Apalagi se¬orang hakim konstitusi tidak boleh berinteraksi dengan orang yang berperkara. Semakin banyak orang sekelilingnya yang berperkara di MK berarti mempersempit ruang hakim untuk banyak berhubungan. Jadi, hakim bekerja dalam ruang yang sunyi di tengah keramaian,” katanya.
Bagi Enny, ‘kesunyian’ tersebut juga diartikan bahwa seorang hakim konstitusi yang memutus perkara, maka ia akan ‘tenggelam’ untuk mempelajari perkara yang diperiksanya. Tapi, Enny menganggap hal iu bukanlah sebuah penderitaan yang harus dijalani seseorang yang menjabat sebagai hakim konstitusi.
“Menjadi hakim konstitusi itu ibaratnya saya berada dalam silent position. Hakim konstitusi merupakan satu jabatan yang tidak banyak berbicara keluar dan cukup berbicara lewat putusan, maka ia tidak boleh terpengaruh dan dipengaruhi siapapun,” ujarnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.