JAKARTA, KOMPAS.TV - Minimnya tenaga kesehatan dan peralatan yang memadai membuat angka kematian ibu dan bayi di Indonesia tergolong tinggi pada periode 1936-1940.
Berdasarkan catatan sejarah, pendarahan plasenta (placenta bleeding) saat melahirkan adalah penyebab utama kematian ibu di Hindia Belanda selama era 1930-an.
Para dokter dari pemerintah kolonial Belanda yang jumlahnya tidak memadai, diliputi rasa was-was karena kondisi ini.
Seorang dokter yang ditugaskan untuk memberantas cacing tambang, J.L. Hydrick, pada 1936 sampai membangun sekolah Hygiene Mantri (Mantri Kesehatan) di Purworejo, Jawa Tengah untuk melatih para dukun bayi. Tujuannya, demi mengupayakan kelahiran yang aman.
Baca Juga: Ibu di Lubuklinggau Melahirkan Sendiri di Semak-Semak, Lalu Buang Bayinya ke Sumur, Ini Motifnya
Namun pada 1938, proposal Hydrick demi meminta bantuan dukun bayi, menimbulkan perdebatan. Dua dokter pribabumi yang kala itu diakui yakni Poorwo Soedarmo di satu sisi dan Raden Mochtar bersama Sardjito berdebat soal dukun bayi.
Poorwo yang kemudian memperkenalkan slogan "Empat Sehat Lima Sempurna" itu menolak pelatihan dukun bayi karena menganggap mereka tidak akan mau mengadopsi praktik melahirkan yang higienis menggantikan kebiasaan lama mereka.
Sebaliknya, Poorwo mengusulkan agar kaum perempuan yang memiliki pelatihan dasar keperawatan diberikan pelatihan jangka pendek sebagai asisten bidan. Pada sisi lain, melahirkan lewat dukun bayi dianggap tidak ilmiah.
Sementara Raden Mochtar dalam presentasinya yang panjang lebar dalam kongres pertama Persatuan Dokter Indonesia alias Vereeniging van Indonesische Geneeskundigen di Semarang pada 1938, memaparkan bahwa memberikan pelatihan kepada para dukun bayi dalam praktik persalinan cukup membantu.
Di akhir kongres, para delegasi ternyata banyak yang setuju dan mengadopsi gagasan Raden Mochtar untuk memberi pelatihan dukun bayi sebagai tindakan sementara untuk mengatasi kekurangan dokter.
Baca Juga: Polisi Periksa 2 Bidan yang Tangani Ibu Melahirkan hingga Kepala Bayinya Putus Tertinggal di Rahim
Vivek Neelakantan, dalam buku "Memelihara Jiwa-Raga Bangsa" (penerbit Kompas) memaparkan bahwa perdebatan para dokter pribumi itu menggambarkan kompetensi strategis mengenai pertanyaan tentang bagaimana cara efisien untuk memperluas layanan kebidanan modern ke pedesaan di sejumah pulau di Hindia Belanda yang kekurangan tenaga dokter.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.