JAKARTA, KOMPAS.TV - Kementerian Agama (Kemenag) akan melaksanakan sidang isbat penentuan 1 Syawal 1445 Hijriyah hari ini, Selasa (9/4/2024). Sudah jadi semacam tradisi, sidang isbat dan pengumuman hasilnya dilakukan di Auditorium H.M. Rasjidi, Kemenag.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dijadwalkan akan memimpin langsung sidang isbat hari ini.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Kamaruddin Amin menerangkan, sidang isbat dilaksanakan secara tertutup, dan dihadiri Komisi VIII DPR RI, pimpinan MUI, duta-duta besar negara sahabat, perwakilan ormas Islam, serta Tim Hisab Rukyat Kemenag.
"Sebagaimana biasa, sidang isbat awal Syawal selalu dilaksanakan pada 29 Ramadan. Tahun ini, bertepatan dengan 9 April 2024," ungkap Kamaruddin di Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Baca Juga: Teks Khotbah Idulfitri 2024 Resmi Kemenag Beserta Doanya, Bisa Dibaca Saat Salat Id
Lantas, siapa H.M Rasjidi yang namanya dijadikan nama tempat sidang isbat?
Haji Mohammad Rasjidi, nama lengkapnya, lahir di Kota Gede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 dan meninggal 30 Januari 2001.
Dialah menteri agama pertama dan dengan masa jabatan tersingkat dalam kabinet presidensil I (2 September 1945-14 November 1945).
Dia menjadi menteri agama dalam suasana morat-marit karena republik baru saja berdiri. Bahkan, penunjukannya sebagai menteri pun dia ketahui dari koran Merdeka yang kala itu memuat daftar menteri yang baru ditunjuk.
Uniknya lagi, Rasjidi yang ketika lahir bernama Saridi, tidak berlatar belakang pendidikan agama atau dunia pesantren. Dia justru lahir dan dibesarkan dalam keluarga kejawen.
"Aku seorang warga negara Indonesia, dari suku Jawa. Keluargaku adalah keluarga yang biasa disebut 'keluarga abangan', artinya yang beragama Islam tapi tidak melakukan ibadat sehari-hari," kata Rasjidi, sebagaimana dikutip dari buku Menteri-Menteri Agama RI, Biografi Sosial-Politik, yang diterbitkan oleh Litbang Kementerian Agama bekerja sama dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)-IAIN Jakarta, tahun 1998.
Meski besar dalam keluarga abangan, Rasjidi justru memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang agama Islam.
Dia membaca dan menghafal Al-Qur'an, Alfiyah Imam Malik sampai Matan Rahbiyah yang biasa dipelajari para santri di pondok pesantren.
Lebih dari itu, dia pernah bersekolah di sekolah Belanda dan menguasai bahasa Inggris, Arab, dan Prancis dengan baik.
Di usia dewasa, dia belajar ke Al-Azhar di Kairo, Mesir dan melanjutkan studi di Universitas Sorbone Prancis dengan disertasi berjudul "L'evolution de l'Islam en Indonesie ou Consideration Critique du Livre Tjentini" (Perkembangan Islam di Indonesia atas Dasar Kajian Kritis terhadap Kitab Centini).
Sebagai menteri agama di masa revolusi, tugas Rasjidi sangat berat. Dia harus menjelaskan posisi dan pentingnya kementerian ini dalam integrasi bangsa Indonesia.
Rasjidi harus menjawab kelompok Kristen dan Katolik yang khawatir kementerian ini lebih dominan kepada kelompok Islam. Di awal revolusi, hal ini sangat sensitif.
Dia selalu berpegang pada konstitusi pasal 28 UUD 1945, dan senantiasa menyebutkan bahwa negara melalui Kementerian Agama tidak akan turut campur dalam urusan keyakinan agama.
Baca Juga: Jelang Lebaran, Kemenag Gelar Edukasi Wajib Sertifikasi Halal di Rumah Potong Hewan
Pada saat yang bersamaan, dia harus melakukan konsolidasi di internal kementerian. Termasuk mengatur tugas dan wewenang para pegawainya.
Maklum, sebagai kementerian baru, belum jelas benar batas ruang gerak, tanggung jawab dan wewenangnya.
Maka Rasjidi pun mengambil alih beberapa tugas yang sebelumnya ada di kementerian lain seperti masalah perkawinan, kemasjidan, dan urusan haji yang sebelumnya ada di Kementerian Dalam Negeri.
Meski memiliki masa jabatan singkat, namun Rasjidi berhasil meletakkan dasar-dasar organisasi di Kemenag sekaligus menjadi corong persatuan umat.
Setelah tidak menjadi menteri, Rasjidi rajin menulis buku dan berbagai pandangan di surat kabar dan majalah.
Beberapa karyanya antara lain "Consideration critique du Centini ou evolution de I'Islam en Indonesie (1956)" berupa disertasi doktor, "Keutamaan Hukum Islam", "Islam dan Kebatinan" (1967), dan "Empat Kuliah Agama Islam di Perguruan Tinggi" (1974).
Dua karya terjemahannya yang banyak dibaca hingga sekarang adalah "Bibel, Quran dan Sains Modern" (terjemahan dari Maurice Bucaille) dan "Filsafat Agama" (1965) terjemahan karya Prof Trueblood.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.