JAKARTA, KOMPAS.TV - Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai PP No 53 Tahun 2023 memang sudah seharusnya dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo.
Aturan baru Jokowi tersebut mengatur cuti menteri dan kepala daerah selama kampanye Pemilu 2024. Aturan ini juga mengatur alur pengajuan cuti menteri atau kepala daerah yang maju dalam Pilpres 2024.
Pernyataan itu disampaikan oleh Titi Anggraini dalam dialog di Sapa Indonesia Pagi KOMPAS TV, Senin (27/11/2023).
“Kalau kita lihat memang PP ini harus dikeluarkan, karena ada putusan MK nomor 68 Tahun 2022 yang membutuhkan tindak lanjut. Sebelumnya sudah ada PP Nomor 32 Tahun 2018, tapi PP tersebut mengatur pejabat negara untuk kepentingan pengunduran diri dalam rangka pencalonan ataupun dalam rangka pengajuan cuti,” kata Titi.
“Sedangkan dalam putusan 68 Tahun 2022, MK kemudian membolehkan menteri untuk kemudian maju di Pilpres tanpa harus mengundurkan diri, syaratnya ada dua yaitu mendapatkan persetujuan atau izin dari Presiden dan yang kedua berkampanye dalam keadaan cuti di luar tanggungan negara.”
Baca Juga: Mahfud soal Capres Cawapres Saling Sindir: Tidak Dilarang, Asalkan Punya Data
Titi lebih lanjut menjelaskan, di Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 2018 pengajuan cuti tidak memuat mekanisme cuti untuk menteri yang maju di Pilpres.
“Karena di dalam undang-undang sebelumnya pasal 170 ayat satu, menteri itu kalau maju Pilpres maka harus mengundurkan diri. Sekarang ketentuan hukumnya berubah, dari semula mengundurkan diri menjadi boleh asal ada izin presiden dan cuti saat berkampanye,” kata Titi.
“Artinya mekanisme itu harus diatur, jadi saat ini tuh sebelum ada PP 53 tidak ada pengaturan itu. Jadi pengaturan itu dalam konteks sebuah pengaturan, dia diperlukan karena harus ada ketentuan lebih lanjut dari putusan MK. Jadi itu substansi pengaturannya dulu, karena kalau tidak, nanti bagaimana mekanisme pemberian izin cuti, itu kan tidak ada aturannya.”
Namun, Titi lebih lanjut mengingatkan potensi penyimpangan dari PP No 53 Tahun 2023 tetap nyata. Sebab dalam PP tersebut, pejabat negara yang mengikuti kontestasi hanya diperbolehkan cuti satu hari dalam seminggu.
“Kalau akhir pekan Sabtu Minggu itu tidak dihitung, apa iya dengan masa kampanye yang sangat pendek, 75 hari, maka 1 hari itu cukup untuk berkampanye menjangkau seluruh wilayah Indonesia,” kata Titi.
Baca Juga: M Jasin: Tidak Perlu Tunjuk Pengganti Firli Bahuri, Juni Penerimaan Komisioner KPK Periode Ke-6
“Jadi di situlah peluang penyimpangan dan juga dorongan untuk menyalahgunakan jabatan ataupun hal-hal yang berkaitan dengan sumber daya, anggaran dan lain sebagainya menjadi terbuka.”
Titi kemudian menambahkan, dalam catatannya, ada pejabat negara yang mengikuti pemilu atau kerja-kerja pemenangan memiliki kecenderungan meningkatkan kunjungan ke daerah dengan melakukan program-program ekspose publik dengan peserta berskala besar.
“Jadi dari situ saja intesitas untuk menggunakan jabatan dan juga kewenangan yang ada untuk melakukan eksposur selama masa kampanye itu sangat nyata, dan itu kan bedanya sangat tipis antara kepentingan pekerjaan jabatan dan kepentingan pemenangan,” kata Titi.
“Apalagi misalnya dinas-dinas daerah berangkatnya hari Jumat pulangnya hari Senin, Sabtu Minggu digunakan untuk penjangkauan pemilih, menemui para pemangku kepentingan yang punya massa maka disitu menjadi bias.”
Sebelumnya Jokowi meneken PP Nomor 53 tahun 2023 yang tak mengharuskan pejabat negara, baik menteri hingga wali kota, mundur dari jabatan mereka saat maju di Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).
PP No. 53 tahun 2023 adalah Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengunduran Diri dalam Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden, dan Wakil Presiden, Permintaan Izin dalam Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, serta Cuti dalam Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum.
PP ini mengubah beberapa ketentuan dalam PP Nomor 32 Tahun 2018 yang pengaturannya meliputi pengaturan bahwa menteri dan pejabat setingkat menteri yang dicalonkan sebagai Capres dan Cawapres tidak harus mundur dari jabatannya, permintaan persetujuan dan izin dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, serta tata cara pelaksanaan cuti dalam Pemilu.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.