Kompas TV nasional hukum

Tanggapan Pakar Hukum Tatanegara Soal MK 'Mahkamah Keluarga': Saya Khawatir Sistemnya Rusak

Kompas.tv - 10 Oktober 2023, 21:47 WIB
tanggapan-pakar-hukum-tatanegara-soal-mk-mahkamah-keluarga-saya-khawatir-sistemnya-rusak
Foto arsip. Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti. (Sumber: Tangkap Layar Kompas TV)
Penulis : Nadia Intan Fajarlie | Editor : Gading Persada

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar Hukum Tatanegara Bivitri Susanti buka suara terkait anggapan sebagian masyarakat mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai sebagai "Mahkamah Keluarga".

Bivitri menyebut, plesetan itu banyak beredar terutama di media sosial karena publik melihat adanya upaya paksaan terhadap MK untuk mengabulkan gugatan mengenai batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Menurut Bivitri, publik melihat dengan jelas bahwa gugatan tersebut berkaitan dengan wacana pencalonan Wali Kota Solo/Surakarta Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal cawapres.

"Kita bisa membaca dengan terang, yang sedang masuk bursa itu cuma satu nama, yang dibawah usia 40, yaitu Gibran," kata Bivitri pada program Kompas Petang di KompasTV, Selasa (10/10/2023).

Ia menyoroti, tudingan "Mahkamah Keluarga" itu muncul terutama karena Ketua MK saat ini, Anwar Usman, merupakan paman Gibran atau adik ipar Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

"MK itu sekarang jadi 'Mahkamah Keluarga', karena kita tahu pamannya Gibran adalah ketua MK," ujarnya.

Baca Juga: Pakar Hukum Sebut MK Mestinya Tak Putuskan Batas Usia Capres-Cawapres: Itu Tugas DPR dan Pemerintah

Ia pun menilai bahwa langkah MK untuk memberikan putusan atas gugatan tersebut sangat tidak etis dan tidak lazim.

"Saya kira ini suatu langkah yang sebenarnya tidak etis dalam hal memaksakan ada perubahan sistem ketatanegaraan secara mendadak melalui sebuah institusi negara dengan cara yang tidak lazim," jelasnya.

"Ini sangat tidak lazim dan tidak konsisten kalau MK sudah mengabulkan tapi untuk kepentingan satu orang," imbuhnya.

Menurut pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera ini, upaya memaksa MK untuk memberikan putusan atas gugatan batas usia capres dan cawapres tersebut merupakan perusakan atas sistem ketatanegaraan.

"Jadi dengan meng-gol kan seperti ini, mendorong menggunakan segala cara, yang saya khawatirkan, sistemnya jadi rusak, MK-nya juga berkurang legitimasinya karena dia makin diolok-olok," tegasnya.


MK, kata Bivitri, seharusnya tidak menerima gugatan soal batas usia capres-cawapres ini.

Bahkan, ia menyebut bahwa aturan mengenai batas usia capres-cawapres merupakan tugas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah, bukan MK yang notabene lembaga yudikatif.

"Usia cawapres dan capres tidak seharusnya diputuskan oleh MK, itu tugasnya DPR dan pemerintah," terangnya.

"Jadi dengan meng-gol kan seperti ini, mendorong menggunakan segala cara, yang saya khawatirkan, sistemnya jadi rusak, MK-nya juga berkurang legitimasinya karena dia makin diolok-olok," sambungnya.

Ia juga mengaku mendengar desas-desus bahwa MK akan mengabulkan gugatan tentang batas usia capres dan cawapres di UU Pemilu itu.

"Karena gelagatnya sudah terbaca, mulai dari penundaan pembacaan putusan sampai dengan sempat ada perkara yang dimasukkan secara mendadak, kemudian ditarik lagi dan seterusnya," tuturnya.

"Jadi ada operasi yang dilakukan juga, dan itu yang menurut saya akan merusak sistem ketatanegaraan kita," imbuhnya.

Baca Juga: Sekjen PBB soal Gerindra Lirik Gibran Rakabuming: PDIP Harusnya Bangga Kadernya Dilirik Parpol Lain

Sebagaimana telah diberitakan Kompas.tv sebelumnya, MK akan memberikan putusan atas gugatan mengenai batas usia capres-cawapres pada Senin 16 Oktober 2023 pukul 10.00 WIB. Hal itu tertera di situs resmi MK.

Setidaknya ada 12 perkara uji materi aturan syarat usia capres-cawapres yang diajukan ke MK. 

Para pemohon mempersoalkan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”. 

Gugatan pertama terhadap aturan ini diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang teregistrasi pada 16 Maret 2023 dengan nomor 29/PUU-XXI/2023. Lalu, gugatan kedua diajukan oleh Partai Garuda pada 9 Mei 2023 yang teregistrasi dengan nomor 51/PUU-XXI/2023.

Gugatan selanjutnya diajukan oleh lima kepala daerah pada 17 Mei 2023 dengan nomor 55/PUU-XXI/2023.

Lima kepala daerah itu terdiri dari Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor, dan Wakil Bupati Mojokerto Muhammad Al Barra.


 




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x